16. Rumpang 🍁

2.8K 473 50
                                    

HUJAN masih terus berjatuhan di luar sana, meskipun sudah tidak sederas semalam, suara gemercik antara rintik hujan dengan atap rumah sakit masih membentuk sebuah harmoni. Langit sudah tidak bergemuruh, tersisa tetesan yang mendominasi di antara rintik lainnya, meluncur dari atap lalu menetesi kap mobil yang berada di bawahnya. Suaranya menenangkan, bersama aroma tanah basah yang sesekali terhirup saat menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Gema terdiam, netra pekatnya menatap lurus ke arah jendela kamar rawatnya yang berembun karena udara dingin. Lagi-lagi pikiran anak itu melayang tanpa sadar, terbawa suasana tenang yang tercipta karena hujan. Namun tidak lama, sampai ketukan pintu dari luar memberinya sejenak waktu untuk mengerjap dan mendapatkan kembali kesadarannya. Gema mengalihkan pandangnnya, menunggu sosok yang akan muncul dari balik pintu. Gema sempat mengira itu adalah seorang perawat, ia bahkan siap menyambut meski hanya dengan sebuah senyum tipis, tapi ternyata bukan.

Gema menegang. Tepat saat pintu terbuka, ia menemukan sosok wanita dengan tatapan dingin menusuknya. Mendekat ke arah ranjangnya dengan nyaring hak sepatu yang mengetuk lantai.

"B-bunda? Kenapa Bunda ada di sini?" lirih Gema.

Bundanyalah yang masuk ke kamarnya, wanita itu kini tepat berada di hadapan Gema.  Jarak di antara mereka terpangkas, posisi keduanya bahkan hanya terpisah beberapa jengkal. Begitu dekat, hingga Gema bisa merasakan aroma parfum yang menempel di baju Jyotika. Detik berikutnya, Gema dapat merasakan tangan itu menyentuh pipinya, sangat halus dan lembut. Diam-diam cowok itu berharap dapat bisa merasakannya lebih lama, namun dengan sekejap sentuhan lembut itu berganti dengan tamparan keras. Membuatnya seketika menoleh ke samping dengan bekas merah yang kini menghiasi pipi pucatnya.

"Ngomong apa kamu sama Arutala?! Kamu pengaruhi apa sampai dia berani melawan saya?!"

Ucapan Jyotika berhasil membuat Gema kehilangan setengah dari nyawanya, ada pisau tak kasat mata dalam kalimat Jyotika yang membuat dada Gema seakan tersayat secara perlahan.

"M-maksud Bunda apa?"

"Ngadu apa kamu sama Arutala? Sebelumnya dia bahkan nggak pernah berani melawan perkataan saya. Dan kemarin, dia sempat berani melakukan hal itu cuma demi kamu!"

Gema mengeratkan genggamannya pada pinggiran ranjang, berusaha sekuat mungkin mengontrol tubuhnya yang mulai gemetar. Apa yang sebenarnya Arutala lakukan hingga Bundanya bisa semarah ini? Gema bahkan tidak mengetahui apa-apa, tapi mengapa harus dia yang kini menanggung semuanya.

"Dengar ya! Kamu nggak berhak menuntut apapun dari keluarga saya. Jangan jadi nggak tahu diri, berdirilah di garis dimana seharusnya kamu berada. Jangan pernah sekali-kali kamu berani melewati garis itu, atau saya akan bertindak lebih dari ini."

Ada suara patah yang begitu nyaring disana, detik itu semua yang ada di hadapan Gema seperti tersamar. Menciptakan mendung tebal di kedua matanya yang kini terasa panas. Sejenak ia menekan bibirnya dalam, berusaha menahan isakan yang memaksa untuk dilepaskan.

"Saya harap kamu mengerti maksud dari ucapan saya, tanpa perlu saya ulangi berkali-kali."

"Dan satu lagi. Kamu memang pantas untuk menderita, Gema. Sama seperti kehadiranmu, dan wanita itu yang membuat saya menderita."

Kini dunia Gema kembali hancur, entah untuk yang keberapa kalinya. Dia tak mampu untuk mencerna apa yang Bundanya katakan, namun semua ucapan itu diam-diam membuatnya kembali menyesali kedatangannya di dunia ini.

Kemudian langkah kaki Jyotika menjauh tegas dari sana, meninggalkan Gema sendiri tanpa perduli ada luka yang kembali menganga di dada anak itu akibat dari ucapannya tadi.

Sekian menit setelah Jyotika pergi, Gema akhirnya menyerah. Air matanya lolos, terjatuh  bebas seperti rintik hujan di luar sana. Di detik itu juga tangan Gema terangkat ke dada, meremas kuat-kuat pada bagian yang terasa sesak di banding yang lainnya.

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang