04. Luka Lain 🍁

3.4K 471 11
                                    


SIANG itu, ketika mendung menghiasi langit dengan mega kelabu yang menggantung. Gema berdiri di depan sebuah bangunan ruko kosong, masih dengan seragam putih abu-abunya yang di lapisi hoodie merah maroon. Cowok itu perlahan menghisap tembakau yang setengahnya sudah habis terbakar lalu menghembuskan asapnya ke udara. Tudung hoodienya ia naikkan begitu angin mulai menerpa rambut hitam legamnya, bersamaan dengan rintik hujan yang turun semakin deras.

Masih terlalu awal sebenarnya untuk pulang sekolah, namun karena buntut dari perkelahiannya tadi, ia di pulangkan lebih awal dari biasanya dan di hadiahi sebuah surat panggilan untuk orang tua. Ini bukan yang pertama kalinya bagi Gema, dulu bahkan ia sering kali sengaja membuat masalah di sekolah agar mendapat perhatian dari sang Bunda. Namun hal itu sia-sia, sekeras apupun ia mencoba, Bundanya akan tetap tidak perduli.

Gema mengehela nafas, ia menengadah ke atas menatap angkasa yang tengah berduka. Wajahnya yang penuh memar dan luka kini terasa sejuk akibat terpaan udara dingin yang datang bersama hujan. Sampai suara langkah kaki terdengar mendekat, Gema refleks menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang berdiri memeluk rak asongannya. Pakaian anak itu hampir basah kuyup, rambutnya lepek. Bahkan tubuhnya gemetar karena hawa dingin.

Gema dengan cepat mematikan rokok di tangannya, ia lalu menunduk dan menepuk pundak itu hingga sang empunya mendongak.

"Kakak mau beli dagangan aku?"

Tatapan mereka bertemu, mata anak itu terlihat sayu, sangat jelas terlihat guratan lelah dibaliknya. Diam-diam Gema membayangkan, bagaimana jika itu dirinya. Harus berjuang diusia yang seharusnya hanya mengenal kata bermain dan belajar.

"Boleh, Kakak beli satu ya air mineralnya."

Anak itu mengangguk dengan wajah berbinar, tangan kecilnya yang gemetar perlahan menerima selembar uang berwarna biru dari Gema. Namun tak lama setelah itu, raut wajahnya berubah menjadi gusar.

"Em- Kak, ini nggak ada kembaliannya. Soalnya dari pagi baru ada dua orang yang beli."

"Nggak apa-apa, kembaliannya ambil aja buat kamu."

"S-serius, Kak?"

"Iya, kamu terima, ya. Memang nggak seberapa, tapi semoga bermanfaat."

Gema bisa melihat bagaimana mata itu berubah menjadi cerah bersamaan dengan sebuah senyuman yang terbit. Hanya dengan melihatnya, membuat Gema ikut tersenyum.

"Makasih banyak ya Kak, kalau gitu uangnya aku terima."

Gema mengangguk merasa lega. Ternyata masih ada hal berguna yang bisa ia lakukan, meski dengan cara sederhana.

"Kak ini, untuk luka kakak biar nggak perih kalau kena air. Soalnya aku pernah jatuh terus berdarah, pas mandi rasanya periiih....banget."

Anak itu menyerahkan sebuah plester bergambar mickey mouse dari dalam kantongnya. Lalu tanpa pikir panjang Gema segera mengambil barang itu, walaupun ia tak yakin akan memakainya.

Gema sempat mengucapkan terimakasih sebelum langkah kecil itu perlahan pergi menyeberangi jalan raya dan menghilang dari pandangannya.

Gerimis masih berjatuhan, namun Gema memutuskan untuk pulang. Mengabaikan dingin yang semakin meresap hingga ke tulang. Langkahnya berjalan lebar, berharap agar segera sampai di rumah dan menghangatkan tubuhnya di dalam gelungan selimut.

Hingga setelah berjalan selama dua puluh menit, cowok itu akhirnya tiba di hadapan pintu masuk rumahnya yang terlihat begitu kokoh. Nyaring daun pintu terdengar saat Gema mendorongnya dari luar, seolah menyambutnya untuk masuk.

Kakinya perlahan bergerak masuk ke dalam. Seperti biasanya, tidak ada yang menyambut saat Gema datang. Namun ketika kakinya melangkah lebih jauh kedalam, ia bisa melihat sosok Bundanya yang terduduk tegap di ruang tengah dengan segelas teh hijau di tangannya.

Setelahnya ia bisa mendengar Bundanya berdeham pelan seraya menaruh cangkir tehnya diatas meja.

"Jam segini sudah pulang? Bikin masalah apa lagi kamu?"

Gema mendongakkan kepalanya perlahan, sedetik kemudian ia mengerutkan dahinya bingung. Pasalnya baru kali ini sang Bunda menaruh atensi padanya.

"Kamu masih punya mulut, jangan bertingkah layaknya orang bisu. Jawab pernyataan Bunda, bikin masalah apa lagi kamu?"

Suara Bundanya menggema, namun Gema masih terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata apapun dari mulutnya.

Hingga detik selanjutnya, sang Bunda bangkit dari sofa dan berdiri di hadapannya. Gema dapat merasakan bagaimana mata itu mendelik tajam tepat ke arahnya.

"Sebenarnya apa yang ada di pikiran kamu itu? Dari dulu bisanya cuma bikin masalah, masalah, dan masalah. Bau rokok, muka babak belur. Udah jadi anak liar kamu sekarang, huh?"

Udara di sekitar Gema berubah seketika, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Berusaha menghalau nyeri yang membuat dadanya sakit.

"Percuma kamu sekolah, nggak akan ada harapan buat kamu. Bahkan masa depanmu sudah terlihat dari sekarang. Suram dan kamu hanya akan gagal nantinya."

Rasa sakit di dadanya kian menjadi, seluruh tubuhnya bergetar seiring emosi yang perlahan menguasai isi kepalanya. Gema terkekeh, detik berikutnya ia memberanikan diri untuk menatap lurus ke arah bola mata sang Bunda. Membalas tatapan tajam nan dingin itu.

"Bisa ya Bunda ngomong kayak gitu ke anak sendiri? Tahu apa Bunda tentang kehidupan aku? Gimana bisa Bunda bicara seolah tahu segalanya tentang masa depan aku nanti?!" serunya.

Jyotika cukup terkejut tak menyangka Gema mampu mengucapkan kalimat se-sarkas itu padanya. Untuk sejenak, suasana menjadi hening seketika.

Sampai tiba-tiba tubuh Gema terhempas begitu saja menyentuh dinginnya lantai rumah, di susul dengan sebuah pukulan yang mendarat sempurna di pelipisnya.

"Mulut lo jaga, yang sopan kalo ngomong sama orang tua."

Pekik lantang itu terdengar di telinganya, Gema lalu mendongak dan menatap sang kakak yang kini berdiri di depannya dengan rahang mengeras.

"Tau diri, masih untung Bunda mau nampung orang kayak lo. Harusnya- "

"Iya! harusnya gue mati kan?! Harusnya gue nggak usah lahir di dunia ini. Karena dari awal hidup gue cuma bawa masalah! Gue tau kak dan gue sadar diri" serunya dengan mata memerah, kalimatnya memelan di akhir. Menyiratkan seberapa terlukanya dia.

Gema lalu menarik nafas panjang, mencoba untuk kuat meski batinnya meraung terluka. Ia bangkit dengan susah payah, menatap satu persatu dua orang yang ada dihadapannya.

"Aku ijin ke kamar duluan, Bun. Kak.
.. "

Cowok itu kemudian beranjak dari hadapan mereka, membiarkan langkahnya menjauh dari ruang tengah untuk kemudian berjalan menuju kamarnya.

Sementara di belakang, Arutala menghela nafas. Menatap nanar kedua tangan yang sudah berhasil melukai sang Adik, bersamaan dengan segenap perasaan bersalah yang kini hinggap di dadanya.



--TBC

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang