11. Ketenangan Yang Hilang 🍁

3K 466 70
                                    

TERIAKAN, kata-kata kasar, hingga nyaring yang dihasilkan oleh bantingan vas bunga. Semuanya terdengar jelas ditelinga Gema. Namun ia tidak bisa berbuat banyak, hanya terdiam di posisinya dengan sisa kesadaran yang mati-matian ia pertahankan.

"Jangan jadi nggak tau diri, kamu. Seenaknya bawa orang lain ke rumah ini. Inget, rumah ini sudah seutuhnya jadi hak milik saya."

Dengan keadaan kepalanya yang nyeri bukan main, Gema menatap ke arah pintu kamar Aksara yang sedikit terbuka sehingga menampilkan keadaan di luarnya.

Gema dapat melihat dua orang saling mengeraskan rahang dengan bola mata yang berkilat tajam, bahkan kilatannya berhasil menciptakan api yang mampu menjalar ke mana-mana. Kedua orang itu adalah Aksara dan juga seorang wanita dewasa yang bertindak sebagai pemilik rumah ini.

"Cih, jangan ngayal. Sampai mati pun gue nggak akan biarin rumah ini jadi milik lo."

"Terserah, yang penting sertifikat rumah ini sudah berada di tangan saya. Kamu nggak bisa macam-macam."

Di tempatnya, Aksara tersenyum miring sebelum akhirnya kembali menatap wanita di hadapannya dengan tatapan menantang.

"Gue bisa, pelacur kayak lo gampang buat gue musnahin, kalau perlu selamanya dari dunia ini."

"Jaga mulut kamu, saya ini masih orang tua kamu."

"Orang tua gue dua-duanya udah meninggal, lo itu cuma parasit yang tiba-tiba masuk ke kehidupan gue."

Dan lagi, setelahnya Gema dapat mendengar bagaimana gelas kaca itu kembali menyentuh dinginnya lantai. Menciptakan nyaring yang seketika membuat telinganya berdengung menyakitkan.

"Kurang ajar, seharusnya kamu tau diri. Nggak ada yang mau nampung anak liar kayak kamu. Asal kamu tau, Papamu dulu bahkan hampir membuang kamu ke jalanan."

"Kamu itu seharusnya bersikap baik sama saya, sebelum kesabaran saya benar-benar habis dan menendang kamu dari rumah ini."

Keadaan semakin memanas, segenap emosi yang semula tertahan kini menguap begitu saja. Gema bisa menangkap bagaimana pekikan lantang itu mengudara, dia juga bisa melihat pergerakan Aksara yang perlahan melangkah maju dengan kedua tangan mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Gema menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, ia memang tidak mendengar namanya disebut dalam perdebatan ini. Namun tetap, inti dari perdebatan mereka adalah dirinya. Gema sadar, seharusnya ia tidak menghubungi Aksara hingga berakhir merepotkan sahabatnya itu. Aksara juga seharusnya tidak perlu membawa dirinya ke rumah ini.

Gema semakin merasa bahwa kehadirannya hanya membawa masalah dan bencana bagi orang-orang di sekitarnya, tepat seperti apa yang Bundanya katakan.

"Siapa yang lebih nggak tau diri? Saat Papa sakit bahkan lo sama sekali nggak ngurusin dia. Lo lebih mentingin tidur sama pria lain!"

Tidak berselang lama, sampai nyaring tamparan wanita itu berhasil menghantam wajah Aksara tanpa ampun. Menciptakan melodi paling menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya.

Gema menutup kedua telinganya, tak lagi berani mendengar suara-suara dari luar. Tangannya gemetar hingga ia tak lagi sanggup berdiri diatas kedua kakinya.

Pikirannya yang tak sehat sejak kemarin, mampu membuat semuanya semakin buruk. Memancing ingatan-ingatan kelam yang perlahan menguasai isi kepala Gema.

Hingga satu persatu bayang-bayang kelam itu mulai berkelabat di kepalanya. Menghantarkan Gema pada dasar memori paling menyakitkan.

Dengan tubuh yang masih gemetar, perlahan anak itu mulai bangkit dari posisinya. Sebelum akhirnya mengambil langkah untuk mendekati jendela dan pergi menjauh dari sana.

Jika semua tempat seolah menolak kehadirannya, lantas kemana lagi Gema akan pergi?

Bukankan menghilang adalah pilihan satu-satunya?

...

Dentang waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Matahari masih bersinar terang, meski awan kelabu nampak menghiasi langit di beberapa sudut dan hampir melahap pesona sang surya.

Arutala mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sejenak ia meregangkan otot lehernya yang terasa kaku. Rasa lelah mendera seluruh tubuhnya, ditambah kantuk yang hampir melewati batas normal. Namun meski begitu, kedua matanya nampak berpedar tajam ke arah jalanan demi mencari entitas diri yang membuat jantungnya bermahkotakan gelisah.

Kilas tadi pagi, merah yang ia temukan di dinding kamar Gema, terus menerus membayangi pikirannya. Entah apa yang telah terjadi, namun hal itu cukup membuatnya khawatir setengah mati.

Berulang kali Arutala mencoba menghubungi ponsel Gema, namun tak ada sahutan dari sang pemilik. Jalan demi jalan pun telah dilalui, namun hanya nihil yang ia dapat.

Lelaki itu hampir menyerah dan memilih untuk membelokkan mobilnya ke arah rumah sakit, sebelum matanya justru menangkap seseorang dengan kedua tangan bertumpu pada pembatas jembatan, sedangkan tubuhnya condong ke depan. Sedikit saja bergerak, maka tubuh itu di pastikan akan jatuh ke bawah.

Arutala sontak memelankan laju mobilnya dan mencoba mengamati lebih jelas. Hingga semesta kembali berhasil merenggut ketenangannya. Tepat setelah Arutala menyadari bahwa sosok yang berada di pembatas jembatan itu adalah sang Adik.

Penglihatannya tak mungkin salah, itu adalah Gema.

"Brengsek... "

Detik itu, Arutala segara melompat turun dari mobilnya. Berlari di bawah awan kelabu yang berhasil menguasai langit dan menarik tubuh itu dengan kedua tangannya.

"Lo ngapain, bego?! Lo sadar nggak apa yang barusan mau lo lakuin?!"

Arutala refleks memekik kencang, kedua matanya menatap tajam namun tersirat kekhawatiran di dalamnya. Sementara di hadapannya, Gema terduduk dengan tubuh gemetar serta pandangan kosong.

Sejenak, Arutala memejamkan matanya untuk menormalkan degup jantungnya yang nyaris keluar dari tempat persinggahan. Sebelum kemudian membuka matanya dan menatap binar redup di hadapannya.

"Apa lo selalu kayak gini? Nggak pernah mikir sebelum ngelakuin sesuatu?!"

"Lo egois! Tau nggak?! lo egois. Di saat Lembayung mati-matian berjuang di dalam sana, terbaring di ruang ICU demi mempertahankan hidupnya. Lo malah segampang ini mau mengakhiri hidup, otak lo dimana?!"

Arutala menarik napasnya dalam-dalam, merasakan panas yang menjalar hingga ke ubun-ubunnya.

Lelaki itu kembali untuk membuka suara, sampai sesuatu di dalam kantong celananya berdering mengintrupsi dan menampilkan nama sang Bunda di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, lantas Arutala segara menerima panggilan tersebut.

Dan saat suara di seberang sana mengisi indra pendengarannya, tepatnya setelah nama Lembayung terucap di tengah tangisan sang Bunda. Saat itu, yang Arutala rasakan hanyalah perasaan takut yang begitu besar.

Hingga setelah panggilan itu terputus, tubuhnya perlahan bangkit dari posisinya lalu berbalik pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Sedangkan di tempatnya, Gema masih sempat melihat pintu mobil itu tertutup dan menenggelamkan sosok Arutala di dalamnya. Sebelum kemudian, roda-roda mobil itu perlahan bergerak menjauh dari pandangannya. Meninggalkan Gema bersama hening yang memeluk seiring jatuhnya rintik hujan dari atas langit.

--TBC

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang