SEJAK detik dimana semesta mendatangkan badai paling dahsyat dalam hidup Gema, anak itu akhirnya tahu jawaban dari mengapa ia hidup di dunia ini.
Apa alasannya hidup?
Maka saat itu semuanya seolah terjawab, bahwa Gema dilahirkan di dunia ini adalah sebagai hukuman dan bencana untuk Jyotika.
Wanita itu pernah berkali-kali menekankan bahwa kehadiran Gema adalah wujud nyata dari sebuah bencana besar yang dapat menghancurkannya. Masih terekam dengan sangat jelas ketika semua itu terlontar bersamaan dengan tatapan penuh kebencian yang menusuk hingga ke dada Gema.
Saat itu, Gema seharusnya sadar bahwa dirinya memang tak pantas berada di dunia, hadirnya hanyalah sebuah dosa yang tak pernah diinginkan oleh siapa-siapa. Bahkan untuk sekedar bernapas pun rasanya ia tak berhak.
Lantas untuk apa Gema hidup jika hanya menjadi luka, untuk apa ia hidup jika pada akhirnya akan menyakiti orang-orang di sekitarnya. Sudah terlalu banyak kesedihan yang Gema ciptakan, hingga akhirnya menjadi badai yang menghempaskannya ke suatu tempat yang tak pernah ia bayangkan. Dimana sakit yang ia terima, rasanya begitu menyiksa hingga dadanya begitu sesak.
Langkah kaki Gema di atas trotoar mulai tak beraturan, pikirannya kacau, suara angin dan nyaring kendaraan yang semula mengisi pendengarannya kini berganti dengan kalimat lirih dan tajam Jyotika tadi, serta lembayung yang memintanya untuk menghilang.
"Pergilah kemana pun kamu mau dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi ke sini. Selama ini saya sudah cukup sakit dengan kehadiran kamu, saya menderita setiap kali melihat kamu ada di sekitar saya."
"Tolong jangan panggil saya Bunda, karena saya tidak pernah menjadi Bunda kamu."
"Dari awal hidup lo itu cuma bisa bikin masalah dan bencana buat orang-orang di sekitar lo, nggak guna. Kenapa bukan lo aja yang pergi? Kenapa harus Ayah dan Kak Aru? Bahkan seekor kucing liat di luar sana, lebih pantas hidup dari pada lo."
Semua itu berputar di kepala Gema seperti sebuah radio rusak yang tak memiliki tombol untuk menghentikannya. Cowok itu lalu melirik ke bagian bawah tubuhnya, kedua kakinya yang tak beralas terasa gemetar. Ia goyah, sejak awal ia memang goyah.
Bibirnya berusaha untuk menggumamkan kalimat penenang, namun justru rintihan penuh lara yang keluar dari kedua bilah bibir pucat itu. Gema menatap lurus ke depan, merekam berbagai macam jenis kendaraan yang melintas dengan kencang hingga membuat tubuhnya sesekali oleng.
Cowok itu terkekeh pelan, semua kalimat itu masih terus berputar dengan sangat baik. Namun dinginnya angin yang menyerbu tubuhnya, justru membuat suara-suara itu perlahan meredup. Ia memejamkan kedua matanya, tanpa sadar kedua kakinya kini mulai melangkah mendekati jalan raya.
Angin kencang yang dibawa oleh kendaraan truk-truk besar di hadapannya, membuatnya merasa memiliki tempat. Tenang, rasanya jauh lebih tenang.
Namun tak lama, nyaring klakson kembali menyadarkannya, Gema kembali membuka matanya, satu langkah lagi maka tubuhnya akan berada di dalam lintasan jalan raya. Jantungnya berdetak dengan kencang, rasa sakitnya kembali terasa.
Gema berjalan mundur, bersamaan dengan dering ponsel dari dalam saku celananya yang menyeruak. Cowok itu terdiam cukup lama sampai akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan itu.
Nama Aksara membelah terang layar ponselnya bersama puluhan pesan tak terbaca lainnya. Gema terhenyak, ternyata masih ada yang perduli padanya disaat semua orang mengharapkan agar ia menghilang saja.
"Halo? Demi apa akhirnya Lo mau ngangkat telepon gue. Lo kemana aja, setan?"
Gema bisa mendengar suara heboh Aksara dari seberang sana, serta beberapa makin yang terlontar setelahnya.
"Beberapa hari setelah kejadian lo dikeroyok, gue sempet nyamperin lo ke rumah sakit. Tapi susternya bilang lo nggak mau ketemu siapa-siapa, jujur itu melukai hati moengil gue, asal lo tau. Selama ini lo nganggep gue apaan? Ku kira hubungan kita spesial," ucap Aksara dramatis, namun hal itu justru membuat Gema menarik ujung bibirnya tanpa sadar.
"Nggak usah lebay," jawab Gema pelan. Mencoba membuat suaranya senormal mungkin, meskipun dadanya masih terasa sesak hingga ia hampir kehabisan napas.
"Tapi gue serius, Ma. Gue beneran khawatir sama lo, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja. Dan kemarin, gue dapet kabar kalau Kak Aru..."
"Ma...lo oke?"
Gema terdiam, semua kalimatnya tercekat di dalam tenggorokan, menciptakan hening panjang yang perlahan mengisi sambungan telepon mereka.
"Gue sekarang ke rumah lo, ya? sekalian mau ketemu nyokap lo."
Suara Aksara masih menjadi satu-satunya yang mengisi sambungan telepon di antara keduanya. Beberapa detik berlalu, sampai Gema akhirnya membalas kalimat itu.
"Dateng aja, tapi gue nggak di sana, Ra."
"Maksud lo? Oh, lo lagi nggak di rumah? Yaudah, lo kapan balik?"
"Gue nggak akan balik lagi, sejak awal itu bukan rumah gue,"
"Hah? Apa sih maksud lo? Gue serius, anjir."
"Kenapa lo nggak akan balik? Kenapa itu bukan rumah lo? lo abis dimarahin lagi sama Bunda lo?"
Gema menggenggam ponselnya kuat-kuat. Siapa sangka kalimat Aksara kembali menghadirkan retakan panjang di dalam hatinya, rasanya begitu sakit ketika menyadari bahwa sosok Bunda yang Aksara katakan adalah omong kosong.
"Mulai sekarang gue bakal tinggal di asrama sekolah, lo bisa temuin gue di sana kalau lo mau."
Sebelum Aksara sempat menyahut lagi, Gema buru-buru memutuskan sambungan telepon dan kembali berjalan di atas trotoar. Dan di bawah bulan sabit melengkung di malam yang semakin temaram, Gema hanyalah seekor kucing liar yang mencari jalan untuk pulang.
--TBC
halo, adakah yang masih menantikan kisah Gema?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Dilupakan
Fanfic[𝐎𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠] Katanya, senja adalah hal yang paling dielukan dan dinantikan. Namun bagaimana jika senja itu hanyalah omong kosong. ...seperti garis kehidupan seorang pemuda bernama Gema Langit Senjakala-yang hadirnya tidak pernah diharapkan. So...