MALAM ini begitu melelahkan, pula pada lorong rumah sakit dengan dinding-dinding hampa yang membentang. Arutala megusap wajahnya kasar setelah satu helaan napas panjang keluar dari mulutnya, kilas ucapan dokter tentang Gema terus berputar membayanginya.Post Traumatic Stress Disorder
Arutala tidak terlalu paham akan hal itu, namun yang ia tahu adiknya mengalami trauma akibat kejadian buruk di masa lalunya.
Ada linu yang diam-diam Arutala rasakan, kenyataan itu datang seperti gemuruh ombak yang menghantam seluruh kesadarannya hingga membuat Arutala seketika teringat tentang bagaimana anak itu diperlakukan selama ini.
Sejak lahir, Gema diperlakukan sangat berbeda dari pada dirinya dan Lembayung. Arutala bahkan tidak pernah melihat Bundanya menyusui Gema sebagaimana Bunda menyusui Lembayung. Ia tidak pernah melihat Bundanya menenangkan Gema yang menangis karena terluka dan Ia tidak pernah melihat Bundanya menemani Gema saat anak itu jatuh sakit.
Sepenglihatannya selama ini, Gema hanya lebih sering mendapatkan pukulan, tamparan, bentakan, dan dijadikan pelampiasan amarah dari Bundanya. Bahkan hal itu menjadi lebih parah setelah kepergian sang Ayah.
Gema memang tidak pernah mengeluh saat Ia tidak mendapat perlakuan yang sama seperti Lembayung, anak itu tidak marah ketika Bundanya hanya mau memberikan kasih sayangnya pada Lembayung. Karena pada dasarnya, Gema sudah mendapatkan hal itu dari Ayah.
Sampai pada Gema berusia tujuh tahun dan sang Ayah meninggal dunia. Anak itu benar-benar kehilangan sosok pahlawan dalam hidupnya, sosok yang selalu melindungi dan mengasihinya. Tidak sampai di situ, jiwanya masih hancur namun Gema harus menjadi pelampiasan atas semua yang telah terjadi. Dan yang Arutala lakukan saat itu adalah bersikap tak perduli dan diam-diam ikut menyalahkan Gema.
Lantas setelah semua yang sudah terjadi, seharusnya Arutala tahu bahwa Gema tidak pernah sekuat apa yang dilihat, adiknya itu sangat jauh dari kata baik-baik saja. Namun bukannya menjadi orang yang paling melindunginya, Arutala justru menjadi pengecut yang tidak berani melakukan apa-apa.
Arutala bahkan sempat menyaksikan bagaimana adiknya berupaya untuk mengakhiri hidupnya sendiri, namun tidak ada sedikit pun rasa perduli dari dirinya untuk sekedar merengkuh anak itu.
Di saat Gema seharusnya mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, Arutala justru tidak tahu sama sekali tentang kondisi psikis adiknya. Hingga sekarang entah sudah sebesar apa trauma yang Gema alami.
Sementara ia memikirkan, siapa yang mendukung Gema untuk bertahan selama ini? Apa yang membuat anak itu sanggup bertahan sampai sejauh ini?
Arutala tertawa miris, yang jelas bukan dirinya ataupun keluarganya.
Satu helaan napas panjang kembali keluar dari mulut Arutala, matanya memejam erat. Ia biarkan hening di lorong itu menenangkannya, berharap resah di sana dapat segera berganti dengan tenang. Namun sia-sia, sialnya pikiran lelaki itu kini mulai bercabang pada banyak kemungkinan yang semuanya mengerikan.
Bersamaan dengan itu, ponsel di dalam saku celananya tiba-tiba bergetar. Sejenak Arutala membiarkan getar ponselnya mengisi hening di sepanjang lorong rumah sakit, sebelum akhirnya ia putuskan untuk menggeser tanda hijau pada layar dan menangkap suara seseorang di seberang sana.
"Kamu lagi dimana, Ru? Bisa ke rumah sakit sekarang? Adikmu bangun, dia tadi panggil nama Bunda. Bunda rasanya lega banget, Lembayung akhirnya bisa kembali kumpul bareng kita. Kamu cepat kesini, bisa?"
Ada hening yang mengalun seiring kalimat Jyotika yang mengudara, namun tidak ada yang Arutala lakukan selain menggigit bibir dalamnya kuat-kuat, mencoba meredam gemuruh di dadanya yang tiba-tiba datang entah dari mana.
"Arutala? Kamu bisa dengar suara Bunda, kan? Bunda minta kamu untuk-"
"Aku nggak bisa ke sana sekarang, Bun. Maaf, ada urusan penting yang nggak bisa aku tinggalin."
"Seberapa penting sih urusan kamu itu? Adikmu lho baru aja sadar, Bunda cuma mau Lembayung tau kalau kita selalu ada buat dia."
"Tapi aku rasa kehadiran Bunda aja sudah cukup buat dia, jadi nggak masalah kan kalau pun aku nggak datang."
"Ya nggak bisa gitu dong, Arutala. Kamu ada urusan apa sih sebenarnya?"
Arutala memejam sejenak, membuang napasnya kasar sembari memijat pangkal hidungnya perlahan. Seharusnya ia tahu, bundanya tidak pernah menerima penolakan, apa yang wanita itu katakan adalah mutlak. Namun untuk kali ini, biarkan Arutala mematahkan hal itu.
"Gema sakit, Bun. Dan dia juga butuh seseorang untuk selalu ada di sampingnya, aku mau temani dia."
"Jadi itu yang kamu bilang urusan penting? Arutala! Sejak kapan kamu perduli sama anak itu. Lagian paling itu cuma akal-akalan dia aja biar bisa dapet perhatian dari kita."
Rahang Arutala mengeras dan wajahnya berubah merah padam. Kedua tangan lelaki itu mengepal erat, dadanya sesak sampai rasanya ia tidak bisa menarik napas.
"Walaupun aku sebelumnya nggak pernah perduli sama dia, tapi dia tetap adikku, kami tetap terikat hubungan darah. Sekarang gimana bisa Bunda bilang kalau Gema cuma cari-cari perhatian di saat dia memang sudah seharusnya dan sepantasnya mendapatkan hal itu."
"Gema sakit, Bun. Bukan cuma fisiknya yang sakit, tapi mentalnya juga. Selama ini anak itu nggak pernah sekuat apa yang kita lihat. Jauh diluar itu dia rapuh, dia hancur, Bunda! Aku-
"Arutala!"
"Bunda juga nggak pernah sekuat itu, kalau kamu mau tau. Selama ini Bunda hidup cuma demi kamu dan Lembayung! Cuma kalian satu-satunya alasan Bunda bertahan setelah Ayahmu pergi ninggalin Bunda untuk selamanya. Perasaan Bunda udah lama mati, mungkin saat itu seharusnya kamu lihat tubuh Bunda ikut terkubur bersama Ayah."
"Bunda yang hancur, Arutala! Bukan dia. Anak itu nggak ada apa-apanya dibanding rasa sakit Bunda karena harus kehilangan Ayahmu. Kamu dengar itu baik-baik!"
"Sekarang terserah apa yang mau kamu lakuin, tapi berani kamu milih anak itu. Jangan harap besok kamu lihat Bunda masih bernapas."
Ada jeda panjang yang Arutala biarkan semenjak Jyotika selesai berbicara dan mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.
Kini wajah lelaki itu sudah tidak semerah tadi, namun rahangnya kian mengeras, dadanya naik turun dan napasnya tersendat. Arutala bisa merasakan kedua matanya memanas seiring isi kepalanya yang terasa penuh, ia benar-benar tidak bisa berpikir lagi.
Bundanya adalah batu karang, dan Arutala tidak mungkin menang melawan perkataan wanita itu. Ia lalu menarik napas panjang, berusaha menahan amarah dan kecewa dalam dirinya. Karena pada akhirnya, Arutala akan tetap menjadi pengecut yang tidak berani melakukan apa-apa.
--TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Dilupakan
Fanfiction[𝐎𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠] Katanya, senja adalah hal yang paling dielukan dan dinantikan. Namun bagaimana jika senja itu hanyalah omong kosong. ...seperti garis kehidupan seorang pemuda bernama Gema Langit Senjakala-yang hadirnya tidak pernah diharapkan. So...