03. Sama Hancurnya 🍁

3.5K 418 12
                                    


GEMA tidak pernah membenci Lembayung, sama seperti halnya hujan yang tak pernah membenci langit meski sudah tau rasanya di jatuhkan berkali-kali. Tak perduli seberapa banyak Lembayung menolak hadirnya, selalu ada alasan bagi Gema untuk mendekati sosok tak tersentuh itu.

Menarik nafas panjang, Gema berusaha menyusul langkah Lembayung untuk kemudian menepuk bahu cowok itu. Dari gelagatnya, Gema tahu bahwa Lembayung benar-benar tidak menyukainya, terbukti dari bagaimana mata itu memicing tajam hingga detik berikutnya meleggang pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.

"Gue nebeng, ya. Kebetulan ban motor gue bocor, udah kesiangan juga kalo harus ke bengkel."

Dengan sigap, Gema kembali mendekat. Namun ia tahu ada dinding tak kasat mata yang Lembayung ciptakan. Dinding untuk membatasi langkahnya dan tentu tidak akan pernah bisa Gema runtuhkan.

"Sekali ini aja deh gue nebeng, besok-besok nggak lagi. Ya?"

Kalimat Gema tidak berarti apa-apa, Lembayung malah semakin keras menciptakan deru mesin motor seolah mengintrupsi anak itu untuk segera diam.

"Kalo gitu lo bisa turunin gue di depan, seenggaknya dari situ gue bisa cari ojek."

Masih tidak ada balasan dari Lembayung. Gema mendengus kesal, ia kemudian beralih mencabut kunci motor itu dari tempatnya sehingga deru mesin berhenti seketika.

"Ngapain sih lo?!"

Matanya berpedar tajam, Lembayung sudah berusaha menahan amarahnya dari tadi. Melihat sosok itu berada di hadapannya, benar-benar mampu merusak paginya yang semula tenang.

"Gue bilang, gue mau ikut. Lagian tujuan kita sama, ke Sekolah. Atau kalo lo keberatan, lo bisa turunin gue di depan."

Lembayung mendecih sinis di tempatnya, dengan cepat ia segera merebut kembali kunci motornya dari tangan Gema.

"Denger ya, gue nggak suka ngeliat lo ada di deket gue. Gue muak liat muka lo yang seakan nggak ngerasa bersalah sama sekali setelah berhasil ngehancurin hidup Bunda dengan cara merenggut hidup Ayah."

Matanya berpedar tajam, senada dengan mulutnya saat berbicara. Kalimat itu sebenarnya sudah sangat keterlaluan, bahkan mampu menghujam jantung Gema begitu dalam.

"Maksud lo apa? Enak banget lo ya kalo ngomong, lo pikir gue baik-baik aja setelah Ayah pergi?! Gue sama hancurnya kayak kalian. Bahkan gue lebih hancur karena seolah-olah gue yang paling bersalah atas semua yang udah terjadi."

"Ya emang bener kan? Dari awal hubungan Ayah sama Bunda baik-baik aja, sampai pada akhirnya mereka berantem cuma karena lo yang pengen dapet kasih sayang dari Bunda. Semua yang terjadi di hari itu, adalah alasan kenapa Ayah bisa kecelakaan sampai meninggal. Dan itu semua karena lo, lo yang seharusnya bertanggung jawab atas semuanya."

Mendengar itu, kepala Gema refleks bergerak. Mencoba memberi penolakan untuk apa yang Lembayung ucapkan. Hingga detik berikutnya, ia merasakan panas di kedua matanya.

Tatapan Lembayung masih tajam, Gema bahkan bisa menangkap amarah yang perlahan menguar dari balik mata itu.

Untuk sejenak, keadaan menjadi lebih hening, sampai akhirnya Lembayung kembali menjadi yang lebih dulu memecahkannya.

"Minggir!" desisnya, memaksa Gema untuk menyingkir dari hadapannya. Hingga deru mesin kembali terdengar, kedua roda yang semula diam pun perlahan bergerak keluar dari halaman rumah.

Meninggalkan sepi beserta Gema yang masih terpaku pada posisinya sembari menatap bayang punggung Lembayung yang perlahan menghilang dari indra penglihatannya.

...

Begitu bel tanda istirahat berbunyi, langkah lebar Gema bergerak cepat menyusuri lorong panjang menuju kantin. Bukan untuk mengisi perut, namun untuk mencari keberadaan Lembayung. Ancaman Bara tempo lalu, kini seperti berputar terus menerus dikepalanya. Dan sekarang, ia hanya ingin memastikan keadaan Lembayung aman.

Untuk sejenak, kelam matanya menjelajah ke segala penjuru kantin. Hingga akhirnya ia menemukan sosok Lembayung di tengah riuh keramaian. Ditempatnya, cowok itu terlihat sedang duduk tenang tanpa ada seseorang yang menemani. Lembayung memang tidak banyak memiliki teman, ia hanya sesekali terlihat berinteraksi dengan teman satu bangkunya dan hal itu pun sangat jarang terjadi.

Lembayung memang sengaja membentangkan jarak untuk siapa saja yang berusaha mendekati. Bukan apa-apa, ia hanya tidak terlalu suka berteman.

Perlahan tapi pasti, Gema akhirnya memutuskan untuk membawa langkahnya mendekat. Ia lalu duduk di bangku kosong yang terletak tepat di hadapan Lembayung.

"Lo itu budeg apa gimana? Gue bilang jangan pernah muncul dihadapan gue! Kenapa lo nggak ngerti juga?!"

Kalimat itu benar-benar memukul telak kesadaran Gema. Tak cukup sampai disitu, Gema masih harus menerima tatapan tajam dari Lembayung.

"Kalo gitu anggep aja gue nggak ada disini, gampang kan?"

Lembayung mendecih mendengar itu. Gema sudah sempat berhasil merusak paginya yang tenang, lalu sekarang mau apa lagi, pikirnya.

"Lo tuh emang nggak tau diri, ya? Sekarang lo yang pergi atau gue yang pergi dari meja ini?!"

"Se-benci itu lo sama gue? Bahkan untuk sekedar duduk satu meja aja lo nggak sudi..."

Lembayung kembali mendongak, mata tajamnya seakan menikam sosok dihadapannya. "Menurut lo?!"

"Untuk kali ini aja, tolong biarin gue ada di deket lo."

"Ck, kalo gitu gue yang pergi."

Detik itu juga, Lembayung bangkit dari kursinya untuk kemudian melangkah menjauh dari bangku yang masih di duduki Gema. Dan lagi-lagi, Gema membiarkan punggung itu menjauh untuk yang kedua kalinya.

Namun tidak lama setelah kaki itu melangkah pergi, ada bentakan keras yang tiba-tiba menggema di setiap sudut kantin.

"NGELUNJAK LO ANJING-"

Dan hal yang Gema lihat sesaat setelah mendengar ucapan kasar itu adalah sosok Bara yang siang ini terlihat begitu emosi dengan api yang menyala di bola matanya. Cowok itu berdiri dengan wajah memerah sembari mencengkeram erat kerah kemeja seseorang dihadapannya.

Nafas Gema seketika memburu saat mengetahui orang yang kini tengah berhadapan langsung dengan Bara adalah Lembayung, ia tak mungkin salah liat.

Ada api yang perlahan membakar dadanya begitu melihat tubuh itu terhempas ke samping. Maka dengan begitu, Gema segera menghambur maju untuk kemudian memukul dan mendorong bahu Bara jauh ke belakang.

"Brengsek..."

Bara sempat meringis, namun sedetik kemudian cowok itu kembali maju untuk memberi perlawanan. Suasana pun semakin gaduh saat adu pukul berlangsung beberapa kali antara keduanya.

Hingga tak seberapa lama kemudian, pekik lantang dari arah pintu masuk kantin menggema. Membuat suasana yang semula gaduh menjadi senyap seketika. Sosok tegap dengan sepatu pantofel mengkilap itu menatap tajam pada dua orang yang menjadi sumber keributan.

"Bara! Gema! Kalian berdua ikut ke ruangan saya."



--TBC

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang