12. Melebur Bersama Hujan 🍁

3.1K 481 37
                                    

SEPASANG netra kembar milik Aksara masih terpaku pada ruang kamarnya yang kosong, Gema tidak ada di sana. Keberadaan anak itu tidak terlihat di mana-mana, hanya ada sepasang sandal yang tergeletak di dekat kasur dan juga jendela kamar yang terbuka lebar.

Riuh hujan di luar masih menjadi melodi yang mengiringi, Aksara mengusak rambutnya perlahan. Memikirkan tentang kemungkinan Gema yang pergi melalui jendela.

Pikiran itu memaksa Aksara untuk beralih melempar pandangannya keluar, hujan turun begitu deras, namun tak menghalangi niat Aksara untuk pergi mencari keberadaan Gema. Maka buru-buru cowok itu berlari keluar dan menjauh dari pekarangan rumahnya.

Senyap jalanan dibelah oleh langkah panjang Aksara, matanya meliuk tajam meski air hujan berkali-kali menghalangi pandangannya.

Jalan demi jalan telah dilalui, berharap kedua matanya bisa segera menangkap entitas diri yang tengah dicarinya. Hingga tak terasa kedua kakinya nyaris mati rasa saat pada akhirnya Aksara berhasil menemukan sosok itu.

Dia ada di sana, terduduk memeluk kedua lututnya dan bersandar pada pembatas jembatan. Aksara menatap getir tubuh itu, sebelum perlahan membawa langkahnya mendekat dan merengkuhnya tanpa syarat.

"Lo ngapain di sini. Kenapa pergi nggak bilang-bilang? Gue hampir gila nyariin lo, asal lo tau."

Suaranya membelah riuh hujan, Aksara beralih menatap intens Gema yang masih membeku. Wajah anak itu tertunduk, membuat Aksara tidak bisa melihatnya. Namun ia tahu, ada sesuatu yang tak beres dengan anak itu.

"Hey, lo oke? Lo bisa denger gue, kan?"

Karena bahkan setelah lewat beberapa saat, anak itu masih tidak menjawab. Tidak mengangguk ataupun menggeleng, seakan tidak mendengar perkataan Aksara.

Hawa dingin kian membekap, diamnya Gema benar-benar mampu menyiksa Aksara. Menghela napas pelan, Aksara kini beralih menggenggam tangan Gema yang bergetar karena kedinginan.

"Ayo, kita balik ke rumah gue."

Hingga tepat setelah ucapannya mengudara, saat itu Gema mendongak untuk menatapnya. Satu yang Aksara sadari, mata itu terlihat hampa. Tidak ada lagi warna di dalamnya, semuanya benar-benar kelam.

Dan untuk selanjutnya, anak itu menggeleng. Hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara sebelum menarik tangannya kembali dari genggaman Aksara.

"Kenapa?" kernyitan dalam timbul pada dahi Aksara atas sikap Gema tadi.

"Lo nggak mau ikut gue pulang?"

Gema mengangguk samar tanpa bersuara sebelum kembali menatap ke bawah menghindari tatapan Aksara tanpa berkata apapun.

Detik itu Aksara terdiam, tubuhnya berdiri dengan tumpuan kedua lututnya sembari mengangguk pelan. Tak ingin memaksa, maka selanjutnya cowok itu bangkit dan melangkah ke pinggir jalan untuk menghentikan laju taksi yang tengah melintas.

"Kalau gitu biar gue anter pulang ke rumah lo, sebelum kita mati konyol gara-gara kedinginan."

Setelahnya, Aksara kembali merengkuh tubuh Gema dan membawanya masuk ke dalam mobil, sebelum roda-roda itu perlahan merangkak pergi membawa tubuh basah kuyup mereka.

...

Jyotika Arum, wanita itu tak lelah menangis bahkan hingga kedua matanya bengkak. Bagaimana tidak, putra kesayangannya saat ini tengah melawan takdir antara hidup dan mati di dalam sana. Tepat beberapa saat setelah seorang perawat mengatakan bahwa kondisi Lembayung kian memburuk.

Jyotika hancur dalam sekejap, bahkan dunianya ikut runtuh saat itu juga. Sampai ketika Arutala datang dengan langkah brutalnya, tubuh wanita itu seketika limbung dan tak sadarkan diri.

Butuh beberapa saat untuk wanita itu tersadar dari pingsannya, sebelum tangisnya kembali pecah dan menjerit memanggil nama Lembayung.

Air mata itu tidak berhenti berlinang, hingga setelah satu jam berlalu, pintu itu akhirnya terbuka dan menampilkan sang dokter dengan setelan jas putihnya.

"D-dok, gimana keadaan anak saya... "

"Tadi napasnya sempat berhenti, denyut nadinya juga sempat hilang dan detak jantungnya melemah. Tapi anda tidak perlu khawatir, karena saat ini keadaannya sudah lebih baik. Anak anda masih ingin berjuang agar kembali pulih dan berkumpul dengan keluarga."

Detik itu, Jyotika dan Arutala akhirnya bisa menghela napas lega. Meski setitik rasa takut masih menghantui mereka. Karena demi apapun, mereka tidak sanggup membayangkan kenyataan buruk apa lagi yang nanti akan terjadi pada Lembayung. Anak itu benar-benar berjuang antara hidup dan matinya.

Mengetahui Gema yang siang tadi begitu mudah hampir mengakhiri hidupnya. Cukup membuat Arutala merasakan panas di dadanya.

...

Brak

Tanpa intrupsi, pintu itu terbuka dengan kasar. Menampilkan sosok Arutala dengan kedua tangannya yang mengepal erat. Pekat yang menjadikan segalanya tak terjamah, tak cukup mampu menghalangi matanya untuk berpedar tajam.

Decihan kuat disuarakan olehnya, sebelum langkah penuh emosi itu mendekati kasur yang saat ini tengah ditempati oleh sosok yang meringkuk bagai janin di dalam balutan selimut.

"Bangun, lo." pekiknya sembari menarik tangan kurus itu dengan paksa. Bahkan sang empunya masih sibuk mengerjap saat tubuhnya di tarik dari atas kasur dengan begitu kasar.

"Lo maunya mati, kan? Kalau gitu mati sekalian. Biar gue bantuin sekarang juga."

Lantas Arutala menarik tangan itu dan membawanya keluar menuju balkon. Langkahnya yang lebar, mampu membuat anak itu berjalan terseok-seok hingga tumitnya terbentur kaki kursi.

Sebuah rontaan terus di upayakan untuk melepaskan diri, namun cengkraman Arutala jauh lebih kuat dari tenaganya.

"Kenapa? Lo takut? Bukannya lo yang mau mati. Sekarang biar gue bantuin lo untuk pergi dari dunia ini selamanya."

Gema, anak itu menggeleng takut. Ia berusaha menghentikan langkah Arutala namun nahas tubuhnya terus terseret.

Karena sejujurnya, ia pun masih ingin hidup. Ia hanya ingin semua rasa sakitnya pergi dan lenyap dari pikirannya, bukan benar-benar ingin mati.

Namun sosok Arutala kini benar-benar kesetanan seakan tidak mengenal belas kasihan. Hingga pada akhirnya Gema harus merasan tubuhnya melayang di udara dan terjatuh ke lantai dasar.

Semuanya seketika berubah gelap.

Sebelum tubuhnya kembali melayang untuk kedua kalinya dan terhentak dengan keras.

Selanjutnya, Gema masih bisa merasakan napasnya yang terengah-engah dan juga tetesan peluh yang membanjiri dahinya.

Hingga Gema menyadari.

Lagi dan lagi, mimpi buruk datang mengganggu tidurnya.



--TBC

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang