18. Hari Menyambut Perpisahan 🍁

2.7K 362 26
                                    

TADINYA Lembayung sudah lupa tentang bagaimana rasa sakit karena kehilangan, sekian lama ia berusaha melupakan perihal rasa sakit itu sejak kepergian sang Ayah. Kali ini, sekali lagi, ia harus merasakan sakitnya saat kedua matanya menangkap sosok Arutala yang terbujur kaku di hadapannya. Berbaring begitu tenang seoalah tak mendengar iring-iringan tangis yang memekakkan seluruh penjuru ruangan.

Dada Lembayung rasanya seperti diremas, sesaknya menumpuk hingga membuat ia kesulitan untuk bernapas. Kepalanya mendongak ke atas, menahan air mata sekuat yang bisa ia lakukan. Di sisinya, ada Bunda yang terpekur dengan perasaan hancur. Wanita itu tampak tidak bisa menyembunyikan seberapa besar rasa kehilangan dan sedihnya saat putra sulungnya dinyatakan tewas karena kecelakaan.

Kabar kepergian Arutala adalah kabar yang mengejutkan, sekaligus menyakitkan bagi semua orang. Tidak ada kata pamit dan peluk perpisahan yang lebih layak. Lembayung merasa ini semua hanyalah mimpi, bahkan ia kembali menatap dada Arutala dan berharap ada pergerakan naik turun dari sana. Namun ternyata tidak ada, Lembayung harus menerima kenyataan bahwa Kakaknya itu benar-benar telah tiada.

"Bunda nggak kuat. Hati bunda sakit, Lembayung," ucap Jyotika di tengah tangisnya, suaranya bahkan hampir tidak terdengar karena isak tangisnya lebih kuat. Lembayung menoleh, ia bisa melihat wajah sang Bunda yang kini basah oleh air mata. Lembayung tahu wanita itu terluka, ia pun bisa merasakan bagaimana rasa sakitnya. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Ketika para kerabat dan tetangga silih datang, Lembayung bisa merasakan pundaknya diusap beberapa kali, bersama seuntai kalimat tentang merelakan dan mengikhlaskan. Diam-diam dadanya terasa panas, ia menolak ketika mereka semua berkata perihal tabah. Karena nyatanya, tabah hanyalah sebatas omong kosong.

Lembayung bersumpah, tidak ada yang lebih menyakitkan, selain bertemu dengan sebuah kehilangan untuk yang kedua kalinya.

...

Semilir angin yang menyejukkan namun hampa berhembus perlahan tatkala lantunan adzan dan ikamah dikumandangkan, mengahantarkan jenazah Arutala ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kedua lutut Jyotika melemas, ketika sedikit demi sedikit tanah mulai diturunkan untuk mengubur jenazah sang putra. Hatinya kian sesak saat menyadari bahwa ada jurang pemisah antara dirinya dan Arutala yang tidak akan pernah bisa ia lewati.

Hingga ketika lubang itu mulai menutup, separuh jiwa Jyotika seakan hilang dari raganya, turut terkubur bersama putra sulungnya. Ia bersimpuh di antara kehilangan itu, menangis pilu sembari memukul dadanya yang teramat sesak.

Satu persatu para pelayat mulai pergi saat prosesi pemakaman telah usai. Lembayung yang melihat Bundanya menangis hebat, perlahan mulai mendekati wanita itu dan memeluknya dari belakang. Mencoba memberi kekuatan, meski dirinya pun sama hancurnya.

"Kakakmu tega, Lembayung. Dia tega ninggalian Bunda kayak gini. Bunda salah apa, memangnya? Bunda salah apa sampai Kakakmu pergi ninggalin Bunda?!"

Lembayung menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha menahan gempuran sesak yang hendak keluar dari dadanya. Cowok itu lalu mengeratkan pelukannya di punggung sang Bunda yang bergetar hebat seraya memejam. Mencoba memberi kekuatan, namun ternyata sia-sia, tubuhnya kini malah ikut bergetar. Air mata yang berusaha ia tahan sejak pertama kali mendengar kabar Arurala telah tiada, akhirnya menganak sungai membasahi pipinya tanpa sadar dan menghancurkan pertahanannya.

Namun, sebisa mungkin cowok itu kembali mengontrol emosinya. Dengan cepat ia menghapus air matanya dan membantu Bundanya untuk bangkit dari sana.

"Kita pulang, ya? Sebentar lagi mau hujan," lirih Lembayung yang dapat didengar oleh Jyotika. Namun wanita itu menolak, membiarkan dirinya terus meratapi kepergian Arutala dengan begitu parah.

Hingga perlahan rintik hujan mulai turun, namun wanita itu tak beranjak sedikitpun dari posisinya. Lembayung menghela napas, ia lalu mengusap lembut kedua tangan Bundanya dengan tatapan memohon.

"Bun? Aku mohon jangan kayak gini. Aku percaya, Kak Aru juga pasti nggak mau lihat Bunda sedih terus-terusan. Kasian Kakak, Bun, jangan nahan jalan dia untuk pergi."

"Sekarang kita pulang, ya? Bunda bisa sakit kalau kelamaan kena hujan. Aku mohon, dengerin aku sekali ini aja."

Jyotika memejam, membiarkan air matanya luruh sekali lagi bersama luka di hatinya. Diusapnya nisan Arutala dengan tangan yang bergetar, sebelum akhirnya ia berdiri dan   mengangguk menatap Lembayung.

Lembayung tersenyum sendu, ia merangkul pundak sang Bunda dan menuntunnya untuk pulang. Namun sebelum langkahnya benar-benar menjauh dari sana, cowok itu sempat menoleh ke belakang untuk sejenak menatap makam Arutala.

"Gue sama Bunda pulang dulu, Kak. Lo istirahat yang tenang di sana, ya. Selamat jalan dan sampai jumpa di lain kesempatan."

...

Matahari telah sepenuhnya terbenam, namun dinding-dinding rumah itu masih temaram. Lembayung perlahan berjalan menuruni tangga. Rumahnya sepi seperti tidak ada kehidupan, ruang tengah yang biasanya terasa hidup pun, kini seperti mati.

Langkahnya lalu tertuju pada kamar Bunda, sepi yang tadi ia gunakan untuk mendeskripsikan kondisi rumahnya, seketika hilang saat mendengar ada suara dari dalam sana, suara tangisan.

"Bun? Bunda?" ucap Lembayung sedikit lantang, ia pun membuka pintu di hadapannya  saat tak kunjung mendapat jawaban dari dalam.

"Bunda... "

Jyotika yang sedang duduk di pinggiran kasur  sembari menatap foto Arutala, dengan cepat menyimpan foto itu dan mengusap air matanya sebelum berbalik menatap Lembayung.

"Bayu, kenapa sayang? Kamu udah makan malam?" ucapnya dengan suara bergetar, wanita itu mati-matian menahan isakannya.

"Belum, Bun."

"Ah iya, Bunda lupa belum masak makan malam. Bayu mau kan tunggu sebentar? Bunda masak dulu."

Lembayung belum sempat menjawab saat Bundanya lebih dulu pergi dari hadapannya. Cowok itu terdiam, menatap kamar sang Bunda yang kini berantakan, sangat berantakan. Benda-benda di atas nakas pun sudah bukan pada tempatnya lagi, namun berserakan di atas lantai. Lembayung tidak tahu apa yang terjadi, namun ia menyadari bahwa wanita itu berkali-kali lebih hancur dari pada saat kepergian Ayah.

Suara tangisan sudah tidak tedengar, namun kini justru terganti oleh suara pecahan piring dan benda-benda yang dilempar. Lembayung mengerjap kaget, dengan cepat ia pergi keluar kamar dan berlari menuju dapur. Jantungnya nyaris copot, matanya menangkap sang Bunda yang kini sedang melempar semua benda yang ada di dapur.

Lembayung terdiam di ujung pintu, cowok itu tidak tahu harus bagaimana, ia tak mengerti. Kini semuanya terasa berdesakan di kepalanya, tangannya bergetar, kakinya pun lemas.

Dulu, saat Bundanya hancur karena kehilangan Ayah, akan ada Arutala yang memeluk Bunda, Arutala yang menenangkan Bunda, Arutala yang menjaga Bunda. Namun kini tidak ada Arutala, hanya ada dirinya dan sisa-sisa kesadarannya di sini.

Kini sudah sepantasnya Lembayung menggantikan peran Arutala, bukan?

Maka tanpa menunggu lama lagi, tak perduli  bahwa kakinya akan terluka karena pecahan beling, Lembayung segera berlari dan memeluk tubuh sang Bunda. Mengusap punggung yang bergetar itu seraya membisikkan rapalan penuh haru yang ia titipkan pada langit malam dengan penuh keyakinan.




--TBC

Sampai bertemu Gema di chapter selanjutnya 🙌

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang