13. Lantas, harus apa...? 🍁

3.4K 490 72
                                    

⚠️⚠️

...

KELOPAK matanya perlahan terbuka, retinanya berusah menyesuaikan pencahayaan kamarnya yang remang-remang. Ditengoknya jam weker yang berada di atas nakas, menunjukkan pukul tiga dini hari. Gema menghela napas lelah, mimpi buruk kembali menghantui tidurnya.

Jantungnya bahkan kini berdetak lebih cepat dari biasanya, kakinya terasa dingin dan tangannya gemetar. Butuh waktu cukup lama untuk ia bisa mendapatkan kembali ketenangannya.

Pagi membangunkannya terlalu dini, namun Gema enggan melanjutkan tidurnya saat bayang-bayang kelam masih berkelumit di kepalanya. Lantas cowok itu beranjak keluar dari kamarnya, sekiranya untuk membuat segelas teh madu yang diharapkan bisa merilekskan tubuhnya.

Seingat Gema, hanya ada dirinya di rumah ini. Namun nyatanya ia menemukan sosok Arutala yang kini tengah sibuk dengan ponsel dan segelas kopi di counter dapur.

Langkah Gema sempat meragu di ujung pintu, namun sudah terlanjur bila ia harus mengambil langkah putar balik karena Arutala kini telah melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Tatapan laki-laki itu memang tak pernah hangat bila menatapnya, selalu menyimpan dingin yang kapanpun bisa menusuknya.

Menelan ludah dengan susah payah, Gema lalu berjalan melewati sang kakak. Niat awalnya untuk membuat teh madu sengaja ia lupakan, cowok itu kini hanya ingin mengambil segelas air putih dan cepat-cepat pergi dari dapur.

Hening beberapa detik, hingga saat Gema berbalik dan hendak melangkah pergi. Suara Arutala tiba-tiba menguar, berhasil menahan pergerakan Gema untuk tetap tinggal.

"Gue lagi dalam kondisi siap mendengarkan, kalau lo mau jelasin situasi kemarin."

Gema tidak langsung menjawab, lidahnya terasa kelu. Tangan anak itu meremat erat gelas dalam genggamannya. Sementara matanya menatap hampa udara sekitar, enggan membalas tatapan Arutala yang menguncinya.

Sampai akhirnya satu helaan napas panjang dan decakan keras dari Arutala kembali memecah hening.

"Lo kalau ngelakuin hal gila kaya kemarin cuma karena mau cari perhatian doang, nggak gitu caranya. Lo pernah mikir nggak sih sebelum ngelakuin sesuatu? Lo bisa stop bikin masalah nggak?"

Tetapi Gema masih tidak merespon ucapan Arutala. Pendar di sana nampak kelam, seolah menyimpan luka yang teramat dalam. Namun hal itu semakin membuat Arutala bedecak muak.

"Jangan bertingkah seakan lo yang paling menderita dan paling tersakiti. Lo pikir dengan lo mengakhiri hidup, bisa bikin keadaan jadi lebih baik? Kalau gitu kenapa lo nggak nyoba mati dari dulu aja? Kenapa baru kepikiran setelah bikin Bunda hancur untuk kedua kalinya."

Ada panas yang perlahan membakar kedua mata Gema, tetapi anak itu mati-matian menahannya. Napasnya seperti tercekat di tenggorokan, ucapan Arutala benar-benar menusuk hingga ke dalam jantungnya.

"Jangan jadi nggak tau diri dengan melarikan diri gitu aja setelah bikin kekacauan."

Lalu hening diantara mereka, tatapan Arutala masih tajam dengan kedua tangan mengepal erat. Sementara Gema terdiam, rasa sakit di dadanya kian menjadi. Kepalanya terasa panas dan ada emosi yang diam-diam ikut tersulut dalam benaknya.

"Terus gue harus apa? Dari awal hidup gue cuma bawa masalah. Seenggaknya kalau gue mati, gue bisa stop bikin masalah. Tapi ternyata gue mati pun tetep akan jadi masalah. Jadi gue harus apa, kak? Kasih tau gue!"

Tiba-tiba Gema berteriak, membuat langkah Arutala terhenti sebelum benar-benar menyentuh pintu dapur. Namun lelaki itu hanya diam, sampai Gema kembali membuka suaranya dengan lirih.

"Jawab, kak. Gue harus apa?"

Kemudian hanya hening yang menjawab seiring bayang punggung Arutala yang perlahan menjauh begitu saja. Menyisakan jejak yang tak lagi terasa, juga Gema yang semakin mengeratkan genggamannya pada gelas. Begitu erat, hingga permukaan kaca itu perlahan retak dan hancur melukai telapak tangannya sendiri.

Detik itu semua yang ada di hadapan Gema terasa samar, namun kali ini ia tak ingin menahannya lagi. Maka ia biarkan buliran bening itu membasahi pipinya, bersamaan dengan hatinya yang ikut hancur.

...

Siang itu, Gema memilih untuk tidak mengikuti jam olahraga saat sebagian besar teman-temannya berhamburan menuju lapangan. Anak itu membenamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat selaras dengan datangnya rasa nyeri yang semakin menikam.

Gema rasanya ingin berteriak saat rematan di perutnya terasa semakin kuat lalu disusul sensasi mual dan panas yang membakar. Namun pada akhirnya ia hanya bisa menghela napas pelan, berharap rasa sakitnya akan segera hilang.

Bersamaan dengan itu, samar-samar telinganya mendengar gemertak langkah mendekat. Semakin jelas, hingga Gema seketika menyentakkan tubuhnya saat mendengar suara bantingan pintu yang terbuka keras dan memunculkan sosok Bara bersama dua orang lainnya.

Seharusnya dari awal Gema menyadari bahwa berurusan dengan Bara hanya akan membuat hidupnya tak tenang. Seperti saat ini, tubuhnya tiba-tiba ditarik dengan kuat lalu dihempaskan begitu saja ke tembok.

Gema berdecak dan menatap malas ke arah Bara, sembari diam-diam meredam lirihnya.

"Lo kalau mau gangguin gue mending jangan sekarang, deh. Muka lo bikin gue mual. Tapi terserah sih, siap-siap aja muka lo gue muntahin."

Tawa Bara menguar sesaat setelah mendengar hal itu, diikuti dorongan kuat yang Gema dapatkan di dadanya. Membuat tubuhnya kini semakin rapat dengan tembok.

"Siapa juga yang mau gangguin lo, gue cuma mau main kok sama lo. Tenang aja, lo nggak akan muntahin muka ganteng gue."

Bara tertawa singkat, lalu mengisyaratkan dua temannya untuk mendekat. Satu dari mereka menahan tubuh Gema dan satu lagi membantu Bara untuk menutup mulut Gema dengan kain yang entah dapat dari mana.

"Nah, kalau gini kan aman. Sekarang ayo main sama gue."

Bara menyeringai lalu beralih menghempaskan tubuh Gema ke bawah dan membiarkan tubuh itu jatuh menelungkup memeluk lantai. Kakinya bergerak menekan kuat punggung anak itu dan menahannya hingga beberapa saat. Tidak perduli bagaimana tubuh yang dari awal sudah tak berdaya itu meronta karena sesak yang menghimpit dadanya.

"Gue awalnya nggak pernah punya niatan untuk berurusan sama lo, tapi karena lo sendiri yang cari gara-gara sama gue, sekarang lo rasain akibatnya!"

Kaki Bara bergerak menekan kepala Gema, menendangnya beberapa kali sembari tertawa keras. Cowok itu tidak perlu takut ketahuan, karena ia telah mengirim kedua temannya untuk berjaga di depan kelas.

Sementara Gema kini benar-benar merasa lemah, ia tidak bisa melawan karena bahkan untuk bernapas pun ia kepayahan. Sakit di perutnya belum hilang sama sekali, kini justru Bara membuat rasa sakit di tubuhnya bertambah.

Telinganya masih bisa menangkap jelas tawa Bara yang menggema, sebelum satu tendangan keras ia terima di kepalanya hingga denging panjang berhasil mengambil alih dunianya.

Bahkan selanjutnya ia tidak bisa menangkap derap langkah Bara yang menjauh setelah puas membuat seluruh tubuhnya mati rasa.

Detik itu semuanya berganti sunyi, matanya menerawang jauh ke luar jendela, menatap langit dan sang surya yang kala itu bersinar begitu terang. Gema mengerjap silau, namun sekumpulan awan berhasil menghalangi sinarnya hingga langit nampak teduh.

Diam-diam Gema merasa iri pada benda putih itu. Ia iri ketika tahu bahwa awan memiliki alasan untuk berada di atas sana. Awan bisa menjadi payung dan meneduhkan bumi.

Gema tersenyum kecil, lalu mulai bertanya pada dirinya sendiri. Lantas apa alasannya berada di dunia ini?

Apa alasannya hidup?

Bahkan hingga kabut pekat perlahan menjemput kesadarannya, Gema masih tidak bisa menemukan jawaban itu.


--TBC

Halo, apa kabar?
Maaf yaa nunggu lama:'(

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang