UCAPAN Gema ternyata berefek cukup besar untuk Arutala. Beberapa saat lalu, bagaimana anak itu berdiri tegak dengan api besar yang membuat dada Arutala ikut terbakar, juga pekik lantang yang menggema sampai ke segala penjuru ruangan. Entah sejak kapan, ucapannya menjelma serupa ujung pisau yang merobek dada Arutala tanpa aba-aba.
Arutala menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, pikirannya melayang tanpa sadar. Dia lalu mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan fokusnya pada jalanan, hingga lampu merah di hadapannya membuat ia harus mengurangi kecepatan mobilnya dan berhenti pada barisan depan.
Lelaki itu menggenggam stir mobilnya sedikit lebih kencang, sejenak matanya memejam rapat. Sampai suara yang ia kenal tiba-tiba muncul di antara ramai kendaraan di luar sana. Tidak nyata, namun cukup untuk Arutala merasakan kehadirannya.
"Bahkan kalau gue minta lo buat pergi, gue mohon jangan bener-bener pergi. Gue nggak masalah meskipun mereka semua benci kehadiran gue. Asalkan ada lo di samping gue, itu cukup, Kak."
Kalimat Gema kala itu terulang dan berubah menjadi denyut menyakitkan di jantung Arutala yang kini mulai kehilangan irama. Sekarang, dunianya terasa berputar, detik yang sebelumnya terasa membakar kini seperti membeku seketika. Membawa ingatannya pada masa lalu, saat dimana ia menemukan Gema dengan wajah bercucuran air mata, terduduk di lantai kamar mandi yang dingin, sendirian, terluka, dan kesakitan. Satu per satu bagian dari memori kelam itu terputar dengan sangat baik tanpa bisa Arutala hentikan.
Ingatan yang terasa begitu menyiksa, memaksa Arutala untuk membawa akal sehatnya kembali. Dan ketika lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, bersama bunyi klakson kendaraan yang berada di belakangnya. Arutala segera menekan pedal gasnya dan mengambil arah putar balik secara tiba-tiba.
Siapa sangka, ingatan itu justru menjelma layaknya mantra yang menarik Arutala untuk menemui Gema dengan segera. Bahkan ia tidak perduli, kalaupun nantinya Gema akan kembali berteriak dan mengusirnya pergi.
"Bahkan kalau lo nyuruh gue buat pergi, gue nggak akan pergi gitu aja. Untuk kali ini, tolong ijinin gue buat selalu ada di samping lo..." lirihnya.
Lelaki itu lantas menggenggam stir dan merematnya kuat-kuat sebelum mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menyalip kendaraan-kendaraan lain di depannya tanpa membunyikan klakson terlebih dahulu.
Di tengah desiran panas yang Arutala rasakan, ponsel di dalam sakunya tiba-tiba menyala. Membuat ia buru-buru menarik benda itu dan menemukan nama Bundanya muncul di sana. Arutala sempat memekik di depan ponselnya sendiri, ia mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya yang sempat berantakan. Sebelum akhirnya menjawab panggilan itu secara perlahan.
"Ya, halo?" ucap Arutala yang langsung dibalas dengan nada lebih tinggi dari seberang sana.
"Di mana kamu?!"
"Maaf, aku pergi nggak bilang-bilang. Tapi–"
"Di mana kamu sekarang dan apa yang sedang kamu lakukan. Kenapa pergi begitu aja tanpa kasih tahu Bunda atapun Lembayung, hal apa yang bikin kamu sampai berani ninggalin adikmu sendirian dan bikin dia kebingungan nyari keberadaan kamu, Arutala!"
Arutala bisa menangkap amarah dari bagaimana wanita itu menekankan namanya. Samar, ia juga bisa menangkap suara Lembayung yang berusaha menenangkan Bundanya. Namun sayang, amarah wanita itu kini jauh lebih besar.
"Arutala, sekarang juga kamu kembali ke sini! Jangan kira Bunda nggak tahu kalau kamu pergi untuk menemui anak itu."
Sekarang semuanya saling berkelumit di kepalanya, suara di seberang sana dan juga ramai kendaraan di jalanan membuatnya kehilangan fokus. Maka sebelum amarah wanita itu berubah menjadi lebih buruk, Arutala segera memutuskan paggilan dan melempar ponselnya sembarangan.
Arutala menghela napas panjang, mulai memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Lelaki itu lalu mengembalikan fokusnya ke depan, membawa mobilnya keluar jalur untuk kemudian menyalip sebuah mobil pick up dengan kecepatan tinggi. Bahkan mobilnya kini berada di garis pembatas jalan dan diapit oleh dua mobil dengan arah berlawanan.
Awalnya semua masih berlajan dengan baik, namun setelah beberapa kali keluar jalur, mobil yang dikendarainya kini berpas-pasan dengan sebuah truk dari arah berlawanan. Arutala terlambat menyadari, tidak ada cara lain selain membawa mobilnya untuk masuk kembali ke dalam jalur yang seharusnya.
Dengan ketakutan yang kini mengisi isi kepalanya, Arutala segera membanting stir mobilnya ke arah kiri. Berusaha untuk masuk kedalam jalur, namun yang ia dapatkan justru hantaman keras pada badan mobilnya yang kini bertabrakan dengan mobil lain.
Arutala memejam erat, mobil yang ia kendarai berputar beberapa kali sebelum akhirnya terbalik tanpa bisa ia kendalikan. Tidak cukup sampai di situ, mobil yang bahkan sudah ringsek itu masih harus mendapatkan hantaman keras dari arah belakang.
Semuanya terasa begitu cepat, tidak ada yang bisa Arutala pikirkan saat itu, selain rasa sakit yang kini menyebar sampai ke seluruh bagian tubuhnya.
Dengan kesadaran yang semakin habis, ia berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara, namun justru hanya rasa sakit tak tertahan yang ia rasakan.
Arutala tidak bisa melihat apapun selain hitam.
Hitam, hanya hitam.
Sebelum pada akhirnya, sesuatu yang berdengung seakan menyentak telinganya. Menjemput sisa-sisa kesadarannya dan membawanya pergi dari rasa sakit yang begitu menyiksa. Namun sebagai gantinya, ia harus kehilangan napasnya pada detik itu juga.
--TBC
🎞
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Dilupakan
Fanfiction[𝐎𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠] Katanya, senja adalah hal yang paling dielukan dan dinantikan. Namun bagaimana jika senja itu hanyalah omong kosong. ...seperti garis kehidupan seorang pemuda bernama Gema Langit Senjakala-yang hadirnya tidak pernah diharapkan. So...