10. Lorong Panjang 🍁

3.1K 504 34
                                    

⚠️⚠️
.
.
.

SEBUAH mimpi ataukah nyata, Gema sendiri tidak bisa membedakan keduanya. Ia hanya terus melangkah menyelusuri lorong panjang dengan nuansa putih itu. Yang terpenting saat ini adalah ia merasa aman. Tidak ada sosok Bundanya yang berteriak memaki dan juga tatapan tajam dari orang-orang.

Gema sudah berjalan sejak tadi, namun anehnya ia tidak merasa lelah sama sekali. Lorong yang sudah ia lalui pun sangat amat panjang, nampak seperti tidak ada ujungnya. Namun hal itu tak lantas membuatnya berhenti, langkahnya tetap tenang memijak dinginnya lantai lorong.

Sampai tiba-tiba ia menemukan sebuah pintu yang begitu terang, membuat matanya otomatis menyipit silau. Gema sempat terdiam mengamati pintu itu, sebelum tangannya kemudian bergerak untuk mendorongnya.

Namun begitu pintu itu terbuka, kegelapan seketika menyambutnya. Ia dapat melihat ada lorong lain di hadapannya, lorong yang nampak sama seperti lorong yang sudah ia lalui. Hanya saja tempat itu lebih gelap di banding dengan tempatnya berdiri saat ini.

Gema menggeleng, ia cukup ragu untuk masuk ke dalam lorong gelap itu. Maka selanjutnya ia memutuskan untuk menutupnya kembali. Namun belum sempat pintu itu tertutup rapat, ada hal lain yang seketika membuat Gema menghentikan pergerakannya.

"Gema... "

Gema tersentak mendengar suara itu, ia lantas segera berbalik untuk mencari asal suara. Netranya beredar ke segela penjuru lorong yang tak seberapa luas itu, namun sayangnya ia tidak menemukan siapa-siapa.

Sampai ketika suara itu kembali memecah tenang, Gema baru menyadari bahwa suara itu terdengar sangat familiar baginya. Suara yang begitu Gema suka ketika memanggilnya dengan penuh kasih sayang.

Suara itu, terdengar seperti suara Ayahnya.

"A-ayah... "

Bersamaan dengan itu, sosok tegap Ayahnya muncul dari balik pintu di hadapannya. Menyapanya dengan sebuah senyuman yang sangat ia rindukan.

"Kamu mau ikut Ayah, nak?"

Gema tidak merespon saat pertanyaan itu tiba-tiba terlontar padanya, ia hanya fokus menatap sosok di hadapannya tanpa berkedip sama sekali. Sosok itu memang sangat mirip dengan Ayahnya, namun entah mengapa ia merasa sedikit ragu.

"Kamu sudah cukup menjadi anak tak berguna. Dari awal, hidup kamu itu cuma bawa bencana dan kesialan bagi orang-orang di sekitarmu. Jadi tunggu apa lagi? Sudah saatnya kamu ikut Ayah, nak..."

Gema menggeleng pelan, kalimat itu datang bagai belati tajam yang sanggup menyatat hatinya. Gema masih dalam keterkejutannya, saat kalimat lain tiba-tiba kembali datang menyerang akal sehatnya.

"Nggak ada yang menginginkan kamu hidup, jadi kenapa kamu nggak mati aja?"

Bersamaan dengan itu, sosok Ayahnya kini berubah mengerikan. Tidak ada lagi senyum hangat yang terpatri di wajahnya, hanya ada tatapan tajam yang perlahan menghunus iris Gema begitu dalam.

"Lebih baik kamu mati, dari pada hidup layaknya sampah tak berguna."

"Dunia ini terlalu sempit untuk menampung anak tak berguna seperti kamu... "

Gema kembali menggeleng sembari melangkah mundur secara perlahan. Ia berusaha menutup kedua telinganya kuat-kuat, namun anehnya suara-suara itu tidak bisa lenyap dari pendengarannya.

"Semua orang membenci kamu, bahkan semut kecil pun nggak suka lihat kamu hidup..."

"Nggak!"

"Cukup! Tolong berhenti..."

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang