14. Seperti Ombak 🍁

3.3K 464 38
                                    


SENJA di penghujung hari perlahan menghilang di balik cakrawala, berganti dengan beberapa titik cahaya yang menghiasi langit kelam. Bersamaan dengan itu, Arutala melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit.

Lelaki itu tidak tahu sejak kapan dadanya mulai bergemuruh hebat, emosinya tertahan hingga mencapai ubun-ubun dan siap meledak kapan pun jika saja ada yang menyulut api pada sumbu pendeknya.

Arutala membuang napas kasar sembari terus membawa langkahnya masuk lebih dalam, hingga akhirnya ia tiba di hadapan ruang ICU. Tidak menunggu lama, sampai pintu itu terbuka sempurna dan menampilkan keadaan di dalamnya.

Hal selanjutnya yang Arutala temukan adalah sosok Gema yang terduduk menatap jendela. Dingin matanya merekam bagaimana anak itu terlihat begitu hampa dan kosong.

Kini Arutala melangkah perlahan mendekati brankar setelah cukup lama ia membiarkan waktu berjalan dengan hening. Tangan lelaki itu kemudian terjulur pelan, namun sebelum benar-benar mencapai pundak di hadapannya, Arutala sontak berhenti dan menarik kembali pergerakannya. Hal itu senada dengan Gema yang tiba-tiba menoleh dan mengerjap beberapa kali.

Arutala menelan ludah kasar, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya tepat ke arah sepasang netra kembar milik Gema yang bergerak gelisah.

"Kali ini apalagi?"

Kalimat pertama muncul saat Gema tengah berusaha mendapatkan kembali ketenangannya yang sempat hilang. Tak langsung menjawab, anak itu justru terdiam sembari manatap lurus ke depan.

"Kenapa bisa kaya gini? Lo bikin masalah apalagi?"

Mengabaikan etinitas Arutala yang tengah menatapnya tajam, Gema lebih memilih diam seakan tidak mendengar perkataan Arutala sama sekali.

"Jawab! Lo punya mulut buat apa? Jangan bertingkah layaknya orang bisu."

Intonasi lelaki itu mengeras, namun hanya suara konstan dari bedside monitor di sisi brankar yang menjadi jawaban satu-satunya. Sementara Gema masih tetap terdiam seiring kalimat Arutala yang melebur bersama dengung panjang menyakitkan.

"Mereka nggak akan bikin lo kaya gini kalau lo sendiri nggak bikin masalah duluan, kan? Lo-"

Ucapan Arutala terputus saat Gema tiba-tiba menoleh dan menatapnya dengan tatapan kecewa juga penuh luka, ada guratan merah yang kini mulai menghiasi kedua manik kelam itu.

"Pergi!"

Satu kata yang akhirnya Gema ucapkan seakan mampu meruntuhkan seluruh emosi yang telah terkumpul di dada Arutala. Dingin dari tatapan anak itu ketika berucap berhasil membuat Arutala seketika terdiam membeku.

"Pergi dari sini."

Suaranya terdengar memelan di akhir, bersamaan dengan keringat dingin yang tiba-tiba menyerang tubuhnya dan udara yang kian menyempit.

Keringat sebesar biji jagung berhasil lolos turun dari pelipis nya, udara di sekitarnya semakin terasa berkurang
hingga membuatnya terbatuk. Sesak, Gema berusaha mencari udara namun yang ia temukan justru duri tajam yang semakin menusuk dadanya.

"Hey?! Napas! Napas yang bener!"

Pekik Arutala panik, ia berusaha untuk menggapai tubuh Gema. Namun anak itu segera menarik diri dan menjauh dari jangkauan Arutala. Bahkan saat Arutala kembali mendekat dan berusaha untuk menenangkan, Gema justru semakin bertindak brutal hingga membuat jarum infusnya terlepas.

Tidak berhenti sampai di situ, tangan Gema lalu bergerak meremat rambutnya sendiri saat kilas balik dari bagaimana suara-suara yang sangat ia kenal itu terdengar meneriaki dan menyalahkannya. Bahkan ramatan itu berubah menjadi jambakan kasar saat kenangan-kenangan buruk yang berada di dasar memorinya ikut terputar dengan baik.

"Lo apa-apaan? Jangan kaya gini!"

Arutala berusaha menahan pergarakan Gema meski tubuh itu memberontak berkali-kali dan membuatnya hampir kewalahan.

"Tenangin diri lo!"

"Apanya yang tenang? Gue nggak bisa tenang sebelum suara-suara itu lenyap dari telinga gue. Tolong suruh mereka diem! Gue minta maaf..."

Air matanya perlahan merembes turun membasahi pipinya seiring ia mulai menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya yang gemetar, berharap suara-suara itu akan segara berhenti mengganggunya.

Meski Gema dapat merasakan sakit akibat jarum infus yang terlepas dan mengalirkan darah, namun hal itu tidak lebih menyakitkan dari ingatan kelam masa lalunya yang kini terus menguasi pikirannya.

Arutala benar-benar bingung harus melakukan apa, sedangkan Gema masih terus meracau sembari menutup kedua telinganya. Arutala menyerah, ia lalu berlari keluar dan berteriak memanggil dokter. Lekaki itu bahkan hanya bisa terdiam saat dokter pada akhirnya membuat tubuh sang adik perlahan melemah dan menutup pendar kelamnya.

...

Dilihatnya rupa Lembayung yang damai sungguh membuat hati wanita itu mencelos. Lembayung memang belum sadar, meski dokter mengatakan masa kritis anak itu telah berlalu dan hanya tinggal menunggu pasien tersadar dari tidur panjangnya. Namun bahkan hingga saat ini, sepasang mata itu belum juga terbuka.

Beberapa menit berlalu, dan Jyotika habiskan hanya dengan berdiam. Memandang sendu pada sebujur kaku yang terbaring lemah di atas ranjang putih. Lembayung terlihat begitu tenang dan nyaman, wajah putranya itu masih saja tampan meski beberapa luka tergurat di sana.

Kini wanita itu melangkah perlahan mendekati ranjang Lembayung, lalu diraihnya salah satu tangan yang tak terselip selang infus dan menggenggamnya sembari menelisik wajah itu tanpa ada yang terlewatkan.

"Anak Bunda kapan mau bangun, hm? Lama sekali tidurnya..."

Bisik Jyotika tepat di telinga Lembayung, tetapi anak itu tidak bereaksi, hanya suara dari alat di sisi ranjang yang menjawab ucapan Jyotika. Sementara bibir itu masih terkatup rapat dengan mata terpejam erat.

Maka, beriringan dengan usapannya pada punggung tangan Lembayung, ada sebuah harapan yang diam-diam Jyotika bisikkan.

Namun saat detik akhirnya berganti dengan menit, nyaring dari sederet alat di sana masih menjadi satu-satunya yang membalas harapan Jyotika.

Wanita itu tersenyum sendu, memberi satu kecupan pada puncak kepala Lembayung sebelum akhirnya ia berbalik dan mengambil langkah menjauh.

"Bun... Da... "

Begitu lirih dan serak, bahkan hampir tercekat. Namun hal itu berhasil membuat langkah Jyotika membeku sebelum benar-benar menyentuh gagang pintu. Wanita itu tertegun, butuh beberapa detik sampai akhirnya ia berbalik demi memastikan suara yang perlahan mengudara itu.

--TBC

Astaga... aku gatau aku ngetik apa. Maafkan kalo narasinya hancur lebur wkwk itu aku maksain bgt krn wb ><

Senja Yang Dilupakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang