PART 1 [AWAL MULA CERITA]

171 58 31
                                    

FROM: AUTHOR

TO: DEAR READER

HOLA SEMUANYA, TERIMA KASIH SUDAH MELUANGKAN WAKTU UNTUK MEMBACA CERITA INI! MOHON MAAF UNTUK SEGALA KEKURANGANNYA. KALIAN BEBAS MENGEKSPRESIKAN PERASAAAN KALIAN DENGAN BERKOMENTAR, VOTE, DAN JUGA SHARE YA!

HAPPY READING :))

CERITA INI AKAN DI-UPDATE SETIAP 2 HARI SEKALI, PUKUL 20.00 WIB (BISA JUGA SEBELUM ATAU SESUDAHNYA DI HARI YANG SAMA)


# # # # # # # # # #


Kornelius, itulah namaku. Sejujurnya aku bukanlah orang istimewa di dalam dunia yang luar biasa besar ini, melainkan siswa SMA biasa yang tertarik dengan dunia fotografi. Makananku adalah memotret dan minumanku adalah mendengar suara CEKREK—suara yang terdengar dari sebuah device ketika memotret sesuatu. Tanpa memotret, sulit bagiku membayangkan untuk mejalani kehidupan yang membosankan ini. 

Akhirnya sampai!

Jalan ini adalah jalanan yang paling kusuka. Setiap melewati jalanan ini, aku merasa tenang di bawah rindangnya pepohonan. Namun, itu bukanlah alasan yang sebenarnya, jalanan ini mempunyai berbagai objek indah untuk dipotret. Bagiku, jalanan ini adalah sesuatu yang berharga dan menjadi alasanku untuk menyukai dunia fotografi.

Aku mengedepankan tasku, membukanya dan merabah-rabah isinya.

Buku? Bukan. Alat Tulis? Bukan. Permen? Bukan.

Cukup sulit untuk menemukannya, kumasukkan kepalaku ke dalam tas.

HP? YAP.

Aku menemukan objek yang indah, sungguh ini anugerah dari Tuhan. Aku menekuk lutut kiriku, mencoba untuk berpose seperti fotografer profesional.

CEKREK—kutekan tombol potret di HP-ku. Aku menepuk kepalaku, betapa bodohnya diriku yang lupa untuk mengecilkan suara HP-ku saat memotret. Perempuan itu melihat ke arahku, aku menunduk sejenak, lalu melihat sisi kiri dan kanan untuk berpura-pura tidak tau.

"Apa kamu baru saja memotretku?" Tanya perempuan itu, dia menghampiriku dan berada tepat di depanku.

Aku berdiri dari pose fotografer tadi, dan berhadapan dengannya.

Dia benar-benar bidadari.

"Ehem..." batukku untuk menampilkan sisi berwibawa.

"Maafkan aku!" Aku menundukkan kepala. Mana mungkin aku bisa berbicara dengan perempuan secantik ini.

Perempuan itu memiringkan kepalanya, terlihat kebingungan. "Hapus sekarang juga!" Ketusnya.

"Tunggu—Foto ini sangat berarti bagiku untuk menghasilkan uang. Bisakah kamu mengizinkanku untuk menyimpannya? Silahkan lihat hasil—" Perempuan itu menepis tanganku. Dengan cepat aku meraih HP-ku yang hampir terjatuh.

"Hei... apa masalahmu?" Tanyaku dengan sedikit kesal.

"Kamu..." dia menunjukku, "kamu dan HP-mu adalah masalah bagiku." Dia juga terlihat kesal kali ini.

"Hapus sekarang!" lanjutnya.

"Beri aku waktu." Perempuan itu terlihat bingung untuk kedua kalinya. "Apa?"

"Ya, beri aku waktu untuk memikirkannya. Seragam kita sama yang berarti kita berasal dari sekolah yang sama. Bagaimana kalau lusa kita bertemu lagi di sini?"

"Apa untungnya bagiku jika menuruti kemauanmu?" 

Benar juga, ini sama sekali tidak menguntungkan baginya.

"Bagaimana jika aku membayar makan malammu? Apa itu cukup untuk memenuhi kerja sama kita?" Aku menggigit ujung bibirku, merasa ragu dia akan menerima tawaran ini.

"Setuju." Perempuan itu menjawab dengan spontan.

"Kamu tunggu di sini, berjalanlah setelah 5 menit. Aku tidak mau ada gosip yang tidak mengenakan tentang kita di sekolah."

Aku tersenyum, "Baiklah!" Perempuan itu pergi meninggalkanku.

"Siapa namamu?!" Teriakku, dia sudah lumayan jauh dari tempat kuberdiri.

Perempuan itu berhenti, berbalik ke arahku. "Aurel... Aurelia Melati." "Kalau begitu namaku Kor—" Aurel pergi dan mengabaikanku.

Sepertinya dia memang sangat sulit untuk didekati.


# # # # # # # # # #


Sore hari, setelah pulang sekolah, aku memutuskan untuk mengunjungi sahabatku sejak kecil, Marko. Dia adalah anak yang sangat baik dan ramah. Aku yakin dia akan terkejut ketika aku menceritakan tentang Aurel dan foto yang kuambil tadi pagi di jalanan itu.

Aku bergegas ke lobi utama rumah sakit, menuju ke lantai 4.

171, 172, 175, 178! 

Aku memasuki kamarnya dan menghirup aroma khas dari ruangan pasien yang mewah itu.

"Yo!" Sapaku sambil tersenyum dan mengangkat tangan kananku.

"Sok keren lu!" Ejeknya.

Inilah Marko yang kukenal, baik, ramah, tetapi selalu spontan.

"Hahaha... Mana rambut lu?" Tanyaku, bermaksud untuk meledeknya.

"Yah... songong lu! Awas ntar kena juga." Kami berdua tertawa lepas dengan bahan candaan itu.

Sudah sejak kecil Marko dirawat di rumah sakit ini. Waktu itu aku sering sekali datang ke rumah sakit untuk menemani ibuku yang sakit-sakitan. Saat itulah aku bertemu Marko, seorang anak yang kuat dan tidak pantang menyerah. Dia mengidap sebuah penyakit yang tidak asing lagi untuk didengar, yaitu kanker darah.

"Awas lu sampe mati duluan, gak bakal gua maafin." Aku menunduk lesu, memutar-mutar kedua jari jempolku.

"Tenang aja, gua bukan orang lemah kali." Aku melihat Marko yang selalu tersenyum, meskipun aku tau perasaan yang sesungguhnya.

"Ada cerita apa hari ini?" Tanyanya.

"Nah, pas banget lu tanya. Gua baru aja mau cerita," balasku dan menceritakan semua kejadian tadi pagi kepada Marko, serta pertemuan yang kami rencanakan saat lusa nanti.

"HAHAHA," Marko tertawa lepas, suaranya menggelora ke seluruh ruangan mewah ini. "Gila... kayak drama-drama aja," lanjut Marko.

"Berisik lu! Pokoknya gitu dah, ntar gua mau yakinin dia supaya gua boleh simpen nih foto."

"Semangat, Nel! Pasti bisalah, apalagi lu jago nego kayak emak-emak di pasar tradisional." Wajahku berubah menjadi kesal mendengar candaan Marko yang seenaknya itu. "Kalo lu bisa yakinin dia, gua beli nih foto dengan harga mahal!"

Seketika wajahku langsung dipenuhi pelangi ketika mendengar tawarannya itu, "WAH, seriusan gak nih?" Tanyaku dengan bersemangat.

"Seriuslah! Duit orang tua gua mah gak bakal abis. Mendingan gua berbagi ke lu aja yang dah gak ada orang tua," jawab Marko dengan santai.

"Hahaha... kurang ajar juga lu ya makin lama." Kami tertawa bersama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. "Wah dah mau malem, gua pulang dulu ya." Aku merapihkan tasku dan mengarah ke pintu ruangan untuk keluar.

"Nel." Langkahku terhenti oleh panggilan Marko.

"Jangan ngelakuin hal bodoh, kita udah bareng-bareng dari kecil, gua adalah orang yang paling tau sifat lu," ucapnya. Suasana menjadi sedikit tegang.

Aku berbalik dan menatap ke arah Marko, "Berarti seharusnya lu udah tau tujuan hidup gua dari awal." Aku meninggalkannya dan keluar dari ruangan itu.

Jalan Keluar pun Berduri [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang