PART 5 [LANGKAH PERTAMA]

51 34 12
                                    

FROM: AUTHOR

TO: DEAR READER

HOLA SEMUANYA, TERIMA KASIH SUDAH MELUANGKAN WAKTU UNTUK MEMBACA CERITA INI! MOHON MAAF UNTUK SEGALA KEKURANGANNYA. KALIAN BEBAS MENGEKSPRESIKAN PERASAAAN KALIAN DENGAN BERKOMENTAR, VOTE, DAN JUGA SHARE YA!

HAPPY READING :))

CERITA INI AKAN DI-UPDATE SETIAP 2 HARI SEKALI, PUKUL 20.00 WIB (BISA JUGA SEBELUM ATAU SESUDAHNYA DI HARI YANG SAMA)


# # # # # # # # # #


Malam ini, aku dan Aurel bersepakat untuk mendatangi Pak Mario sebagai seseorang yang pernah menjadi teman dekat ayahku, bukan pembunuh. Setelah melihat kejadian tadi malam, aku semakin ragu atas tuduhan yang pernah aku lontarkan kepadanya melalui Aurel. Namun, sebelum ke rumah Pak Mario, aku memutuskan untuk mendatangi Marko, sahabatku yang penyakitan itu.

"Yo, botak," sapaku dengan senyuman.

Marko melirikku, melihat gaya tengil sahabatnya, "Apaan sih lu..."

"Yehh...jangan dibawa hati kali." Aku menepuk pundaknya.

"Waktu gua udah gak lama, Nel." Marko menunduk lesu. Dia benar-benar serius kali ini.

Marko adalah anak yang sering mengalami sakit-penyakit sejak kecil, bahkan ketika pertemuan pertama kami. Namun, 2 tahun yang lalu dia didiagnosa sebagai penderita kanker darah.

Memang, takdir sungguh kejam kepadaku.

"Ko, coba liat gua." Aku memegang pundaknya, dia mengangkat kepalanya, menatapku. "Kita ini temen, gua bakal selalu ada buat lu, jadi gak usah khawatir ya..." Aku mencoba untuk meyakinkannya dengan ucapanku.

"Hahaha..." Marko terbahak dan melepas tanganku dari pundaknya. "Gua boongan kali, percaya aja lu." Aku tersenyum kecil melihat tingkah laku sahabatku yang satu ini.

Masih aja sok kuat...

"Cih... dasar." Aku membenarkan posisi dudukku.

"Gua mau cerita nih," lanjutku.

Aku mulai menceritakan semua yang terjadi kepada Marko. Dialah yang paling mengenal tentang diriku, tentang tujuan hidupku, dan segala perasaan yang kupendam selama ini. Dia juga mengerti bahwa ambisiku saat ini adalah untuk memecahkan kasus kematian ayahku.

"Lu pasti bisa kok. Selama lu fokus sama tujuan hidup lu, gak ada yang gak mungkin, Nel," balas Marko setelah mendengar ceritaku yang sangat panjang.

CEKLEK—suara pintu rumah sakit dibuka, Perawat ingin memberikan obat kepada Marko.

"Yaudah lu pergi sana, kasian Aurel udah nungguin." Marko melambaikan tangan ke arahku.

Aku pun membalas lambaiannya itu, "Oke deh, see you next time, Ko!"


# # # # # # # # # #


"Kamu yakin yang ini rumahnya, Rel?"

"Iya bener kok." Aurel mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin.

"Rel, ngomong-ngomong ngapain kita jalannya kayak gini? Berasa kayak penjahat aja." Aurel lantas berhenti, secara spontan menegakkan badannya. 

"Iya juga ya, yaudah ayo ke sana." Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya.

Aku dan Aurel sampai di muka pintu rumah Pak Mario. Kami saling bertatapan, memutuskan untuk siapa yang mengetuk pintu, "Inget, kamu itu laki-laki, Nel!"  Akhirnya, aku yang mengetuk pintunya.

Tok-tok-tok... tidak ada jawaban.

Coba sekali lagi, tok-tok-tok.

Kami mendengar langkah kaki mendekat. Pintu akhirnya terbuka, terlihat di hadapan kami seorang pria tua dengan memar di sekujur tubuhnya. 

"Siapa kalian?" Tanyanya kepada kami.

"Selamat malam, Pak," sapa Aurel. "Perkenalkan saya Aurel, dan di samping saya, Kornelius. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan. Bisakah Bapak meluangkan waktu sebentar saja?"

Ekspresi Pak Mario terlihat tidak ingin diganggu oleh siapapun, "Pergilah." Dia menutup pintunya, tetapi aku dengan sigap menahan pintu itu dengan tanganku.

"Saya anak dari Pak Gibran..." Pak Mario berbalik, terkejut dengan apa yang kukatakan.

"A—apa mak—maksudmu?" Katanya dengan terbata-bata.

Setelah mendengar hal itu, kami berdua diperbolehkan untuk memasuki rumahnya. Kami duduk di sebuah ruangan sempit dengan meja makan, tempat tidur, dan dapur yang menjadi satu, hanya kamar mandi saja yang terpisah.

"Rumah ini sangat jelek," bisikku.

"Sssttt... jaga mulutmu," balas Aurel, sambil mencubit pinggangku.

Pak Mario datang membawa minuman, "Silahkan dinikmati."

Pak Mario mengambil posisi duduk yang nyaman, kami bertiga sedang berada dalam sebuah ruang investigasi sekarang. "Apa yang kalian ingin tanyakan?"

Aku menatap Aurel, memintanya untuk menjelaskan kepada Pak Mario. Tenggorokanku sangat kering, aku belum sempat minum sejak dari rumah sakit. Aku melihat teh di depanku, sungguh menggoda. Aku sedikit menunduk kepada Pak Mario sebagai norma sopan santun untuk meminum apa yang telah disuguhkan.

"Wahh...teh ini sungguh nikmat, apa jenisnya?" Aurel menyikut perutku, suasana kembali menjadi serius.

Aurel lanjut menjelaskan apa yang sedang kami lakukan. Aurel juga menunjukkan foto ayahku kepada Pak Mario sebagai bukti bahwa aku adalah anak kandungnya. Aku melihat wajah Pak Mario, tidak ada reaksi khusus yang ditunjukkan oleh wajahnya—sebentar, apa benar wajah Pak Mario seperti itu? Berputar-putar seperti...seperti...pandanganku semakin kabur, ada apa ini?

BRUK—


HAPPY 100 READERS :)

Hola Guys, RG di siniiii!!!!

Terima kasih buat teman-teman yang selalu bersikap suportif melalui vote, comment, and share. Meskipun masih banyak kekurangan di dalam cerita ini, tapi aku berharap kalian bisa tetap enjoy yaa!

Sincerely,

RandomGuyss

Jalan Keluar pun Berduri [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang