FROM: AUTHOR
TO: DEAR READER
HOLA SEMUANYA, TERIMA KASIH SUDAH MELUANGKAN WAKTU UNTUK MEMBACA CERITA INI! MOHON MAAF UNTUK SEGALA KEKURANGANNYA. KALIAN BEBAS MENGEKSPRESIKAN PERASAAAN KALIAN DENGAN BERKOMENTAR, VOTE, DAN JUGA SHARE YA!
HAPPY READING :))
CERITA INI AKAN DI-UPDATE SETIAP 2 HARI SEKALI, PUKUL 20.00 WIB (BISA JUGA SEBELUM ATAU SESUDAHNYA DI HARI YANG SAMA)
# # # # # # # # # #
Aku melihat wajah Pak Mario, tidak ada reaksi khusus yang ditunjukkan oleh wajahnya—sebentar, apa benar wajah Pak Mario seperti itu? Berputar-putar seperti... seperti... pandanganku semakin kabur, ada apa ini?
BRUK—
"Saya sudah menduganya dari awal, apa yang Bapak rencanakan?" Aurel menatap serius wajah Pak Mario. Keadaan ini di luar dugaannya, Aurel cukup pintar untuk permasalahan ini.
"Ternyata kamu cukup pintar, ya." Pak Mario mengambil sepuntung rokok dan koreknya.
Aurel menahan tangan Pak Mario, "Tolong jangan merokok, saya benci asap rokok."
"Katakan sekarang. Apa hubunganmu dengan Pak Gibran? Apa hubunganmu dengan kematiannya? Dan apa maksudmu melakukan ini kepada kami?"
Pak Mario menatap Kornelius yang terbaring di samping Aurel, "Anak ini sudah menanggung beban yang begitu berat..."
Pak Mario menunduk kali ini, "Bahkan aku tidak punya muka untuk menemuinya. Aku terlalu takut untuk melihat wajahnya."
Aurel tidak mengalihkan pandangannya sama sekali, "Jadi itu alasanmu melakukan ini pada kami? Dengan memberikan kami obat tidur di dalam teh itu?"
"Aku berencana untuk pergi setelah kalian berdua tertidur, itulah rencana awalku. Namun, ternyata kamu cukup pintar dengan mengetahui rencanaku."
Aurel menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya dengan semua omong kosong ini. "Lalu apa hubunganmu dengan kematian Pak Gibran?"
Pak Mario menghela napas, "Sejujurnya aku tidak ingin membahas hal ini, tapi aku rasa sudah tidak ada jalan untuk lari lagi."
Dia melihat ke langit-langit rumah, menahan air matanya. "Gibran adalah sahabat dekatku, hubungan kami sangat erat. Selama hidupnya, dia selalu menawariku bantuan, tapi aku selalu menolaknya. Aku merasa bersyukur hanya dengan hubungan kami, aku tidak butuh uang di antara kami. Apa kau tau hal yang paling menyakitkan dalam hidup ini?"
"Kehilangan seseorang?" Terka Aurel.
"Itu cukup menyakitkan, tapi hal yang lebih menyakitkan adalah ketika kehilangan seseorang yang kau sayangi di depan matamu sendiri. Di saat yang bersamaan, kau menyadari bahwa dirimu tidak bisa melakukan apa-apa untuk orang itu."
Mendengar hal itu, Aurel mulai bersimpati kepada Pak Mario. "Jika Bapak merasa ini terlalu berat untuk diceritakan—"
"Akulah yang memutuskan untuk mengatakan ini. Bisakah kita lanjutkan?"
Malam itu, Pak Mario menceritakan semua yang terjadi kepada Aurel, tentang hubungannya dengan ayahku, tentang kematian ayahku, dan juga tentang orang yang membunuh ayahku. Malam semakin larut, mengharuskan Aurel untuk mengantarku pulang ke rumah. Kepalaku masih terasa pusing dan sedikit mual akibat dari obat tidur di dalam teh itu.
"Rel, gimana kalo kita istirahat dulu?" Kataku dengan lemas.
Aurel yang sudah kelelahan karena memapahku setuju dengan saranku. Kami memutuskan untuk duduk di bangku depan sebuah outlet yang cukup ramai.
"Kepalamu masih pusing?" Tanya Aurel kepadaku.
Aku mengangguk lesu, sambil menyandarkan kepalaku di pundaknya.
Aurel terhentak kaget, "Hahaha... apa aku mengejutkanmu?"
"Ti-tidak, aku biasa sa-saja," gagapnya.
Aku tersenyum kecil, "Biarkan aku seperti ini, pundakmu terasa nyaman."
Tiba-tiba saja pikiranku tertuju pada pembicaraan Aurel dan Pak Mario di saat aku tertidur, "Rel, tadi Pak Mario bilang apa?" Tanyaku dengan kepala yang masih bersandar di bahu Aurel.
Aku masih ingat suara bising kendaraan pada saat itu, dan suara keramaian dari orang-orang yang berlalu-lalang. Aku berusaha untuk fokus kepada suara Aurel.
"Mengapa ia tidak menjawabku?"
Aku mengangkat kepalaku, bermaksud untuk melihat wajahnya, "Rel? Kamu gapa—"
Aurel dengan sigap menahan kepalaku, membenamkan wajahku kembali ke pundaknya. "Gak ada apa-apa kok, Nel. Ternyata Pak Mario bukanlah pembunuh ayahmu."
Tubuh Aurel seakan-akan bergetar. Aku mengetahui bahwa pada saat itu ia sedang menangis dalam diam, pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua
"Tapi apa yang disembunyikannya? Aku benar-benar tidak tau apa-apa karena teh bodoh itu!"
Aku menjadi kesal pada diriku yang sendiri yang dengan mudahnya tertipu oleh teh itu. Akan tetapi, aku juga memikirkan perasaan Aurel saat ini yang sedang bersedih tanpa alasan yang jelas. Kedua hal ini sungguh membuat kepalaku ingin terbelah menjadi dua.
"Rel, ada aku di sini. Kamu gak usah khawatir ya," ucapku, tidak ingin untuk membuatnya lebih sedih lagi.
Sebisa mungkin aku berusaha untuk menahan rasa penasaranku. Entah kenapa, aku mempunyai firasat yang buruk tentang kejadian hari ini.
"Apakah itu hal yang baik? Atau mungkin itu adalah hal terburuk bagiku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Keluar pun Berduri [SELESAI]
RomanceKornelius memiliki masa lalu yang kelam terkait keluarganya karena kematian Ayahnya. Di suatu jalan yang indah, ia bertemu dengan seorang bidadari yang amat cantik. Bidadari itu adalah Aurel. Kornelius melihat adanya celah untuk menuntaskan kasus ke...