PART 21 [JALAN KELUAR PUN BERDURI 4]

11 7 1
                                    

"Aurel," panggilnya pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aurel," panggilnya pelan.

Aku mendongak, "Ternyata anak Ayah sudah dewasa ya," lanjutnya sambil tersenyum kepadaku.

"Yah..." Mataku mulai memerah.

Dia mengelus lembut rambutku, "Kita sebagai orang yang serba kekurangan, sesungguhnya tidaklah lebih rendah dari mereka yang memiliki segalanya. Apa Aurel tau kenapa?"

Aku menggeleng, "Harga diri, Rel," jawabnya.

"Kita punya harga diri dan martabat yang sama. Jangan menjual harga diri kamu apapun pertukarannya. Kamu adalah anak Ayah yang sangat berharga," lanjutnya.

"Ah... ini benar-benar menyebalkan," ucapku yang kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa.

CEKLEK— Suara pintu ruangan terbuka.

Aku menoleh ke arahnya, "Pak Noel?!"

Dengan setelan mahalnya, orang itu menghampiriku. Aku beranjak dari kursi, "Untuk apa kamu datang ke sini?"

"Sungguh dramatis sekali," katanya yang dibarengi dengan tepuk tangan.

Senyuman licik di bibirnya sekan-akan menggambarkan maksud kedatangannya, "Bagaimana kalau kita pakai alternatif lain?"

"Apa maksudmu?" Tanyaku penuh kebingungan

"Aku tau bahwa bocah itu merekam perkataanku, tetapi apakah kamu tau? Bukti semacam itu tidak akan berlaku bagiku," jelasnya tentang rencana Kornel.

Aku menggertak gigiku, "Bukti itu terlalu lemah dan bisa dimanipulasi. Namun, aku akan memberikanmu kesempatan. Serahkan alat perekam suara itu kepadaku, maka Ayahmu akan selamat. Bagaimana?"

Situasi ini adalah yang terburuk. Ketika kita diperhadapkan dengan dua pilihan oleh seorang bajing*n, "Bagaimana mungkin aku bisa memilih ini?"

Aku memutar paksa otakku, "Waktuku tidak banyak. Apa dia akan melakukan perawatan yang maksimal ketika aku bekerja sama dengannya? Tapi rekaman ini adalah bukti yang sangat kuat untuk menuntaskan kasus Ayahnya Kornel?"

Pendingin ruangan bahkan tidak mampu untuk menghentikan keringatku, "Apa yang harus—"

DEG— Tiba-tiba pikiranku menjadi tenang kembali, "Hangat..."

Aku berbalik dan melihat tangan besar yang telah mengembalikan kesadaranku, "Ayah?"

Dia menatapku penuh kebulatan tekad, "Lantas mengapa aku masih ragu?"

"Ti-tidak akan," ucapku.

Pak Noel mengerutkan dahinya, "Sungguh pilihan yang egois. Kuharap kamu tidak akan menyesalinya di kemudian hari."

Dia berbalik dan bermaksud untuk pergi, "Mulai besok biaya pengobatan Ayahmu akan kuhentikan. Berusahalah untuk membuatnya tetap hidup. Semoga beruntung—"

"Benar... begitu juga denganmu, bersiaplah berada di balik jeruji beberapa minggu lagi!" Sahutku. 

Noel membuka pintu, "Oh ya... aku juga tau bahwa di rumah itu terdapat kamera."

"Aku sungguh benci melihat senyum bengisnya, jangan terlalu meremehkan kami!"

"Dan aku sudah menghancurkannya!" Dia meninggalkan ruangan dengan cara tertawanya yang menyebalkan.

Keesokan harinya aku mulai bekerja dengan sangat keras untuk menutup biaya pengobatan Ayahku. Sekolah, kerja, dan menjenguk Ayah adalah rutinitasku setiap harinya. Namun, tetap saja uang yang kukumpulkan tidak dapat mengejar biaya pengobatan yang sangat mahal.


# # # # # #


Hari ini Evan menghubungiku, dia meminta waktu untuk berbicara denganku. Demikian juga denganku, ada hal yang harus kusampaikan padanya dengan tegas.

"Rel, coba kamu pikirkan lagi. Aku bisa bantu kamu kok, sekarang masih belum terlambat," katanya sesaat setelah bertemu.

"Kamu orang yang baik ya, Van." Aku sedikit menunduk.

"Maaf... selama ini aku terpaksa dalam menjalani hubungan kita," sambungku.

Waktu itu, Evan benar-benar menunjukkan kesedihannya, "Rel... kumohon jangan seperti ini."

"Aku tidak boleh terlarut dalam hal seperti ini," pikirku.

Aku segera berdiri dari kursi kayu itu, "Aku rasa perkataanku sudah cukup jelas. Terima kasih untuk kebersamaannya selama ini. Selamat tinggal, Evan."

Aku segera pergi dari kafe itu, Evan hanya diam tanpa membalas ucapanku.


# # # # # #


Pagi hari aku langsung bersiap untuk berangkat ke sekolah. Selama di perjalanan, aku sempat berpikir tentang banyak hal.

"Apakah dunia memang sekejam ini? Mengapa mereka sama sekali tidak merasakan apa-apa? Seakan-akan apa yang aku alami ini tidak berarti sama sekali..."

Orang tua Marko beberapa kali juga turut datang ke sekolah untuk mengabarkan kesehatan Kornel pada wali kelasnya. Karena ketiadaan orang tuanya, maka orang tua Marko bertindak sebagai wali dari Kornel.

Setelah selesai dengan kehidupan sekolah, tidak seperti anak-anak lainnya, aku langsung lanjut bekerja dan bekerja. Aku bekerja sangat keras sampai tidak bisa merasakan apa-apa, "Tidak apa-apa, ini semua demi Ayah!"

DRRTT— HP-ku bergetar ketika sedang bekerja.

"Halo?" Sapaku

Dalam sekejap ekspresiku berubah, "Apa? Rumah sakit—"

"Benar..."

Selama ini aku hanya meyakinkan diriku bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Aku telah menciptakan sebuah firdaus bagi perasaanku, sampai-sampai tidak ada perasaan asli yang tersisa. Tanganku meraih erat mulutku agar tidak berteriak saat itu juga, sementara mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata.

"Permisi, Mbak?" Panggil seorang pelanggan.

Dia menunjuk pada sebuah roti, "Saya mau beli yang ini..."

Tanpa meladeninya, aku langsung melepas rompi kerjaku dan berlari ke rumah sakit. Ayahku sedang berada dalam keadaan kritis dan harus segera mendapatkan perawatan lebih lanjut. Air mataku terus beterbangan sepanjang perjalanan.

 "Mungkinkah firdaus ini akan segera berakhir?"


BERSAMBUNG


# # # # # #

Jangan lupa follow, vote, comment, dan share ya!

Happy Reading!

Jalan Keluar pun Berduri [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang