PART 9 [KEJANGGALAN]

32 21 2
                                    

FROM: AUTHOR

TO: DEAR READER

HOLA SEMUANYA, TERIMA KASIH SUDAH MELUANGKAN WAKTU UNTUK MEMBACA CERITA INI! MOHON MAAF UNTUK SEGALA KEKURANGANNYA. KALIAN BEBAS MENGEKSPRESIKAN PERASAAAN KALIAN DENGAN BERKOMENTAR, VOTE, DAN JUGA SHARE YA!

HAPPY READING :))

CERITA INI AKAN DI-UPDATE SETIAP 2 HARI SEKALI, PUKUL 20.00 WIB (BISA JUGA SEBELUM ATAU SESUDAHNYA DI HARI YANG SAMA)


# # # # # # # # # #


"Om... Tante..." sapaku terhadap kedua orang tua Marko yang terpaku melihat para tenaga medis.

Mereka hanya melirik tanpa menjawabku. "Ada apa ini? Apa yang terjadi? Ada apa dengan Marko?" 

Om Ferdi berusaha untuk menenangkan Tante Kalista dan menempatkannya di bangku seberang ruangan itu. Aku melihat ke dalam ruangan, Marko tidak ada di sana. Om Ferdi menepuk pundakku, dan menunjuk ke arah ujung lorong lantai ini. Kami berdua berbicara beberapa meter dari ruangan Marko dan Tante Kalista yang masih menangis di sana.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Om?" Tanyaku penasaran, terlalu banyak spekulasi negatif di pikiranku.

"Kornel..." Mata Om Ferdi mulai diselimuti oleh air. "Keadaan Marko memburuk, keadaannya sangat kritis pada saat ini."

Langkahku perlahan mundur, tanganku merabah-rabah dinding rumah sakit. Aku mencari pegangan untuk menahan tubuhku yang goyah.

"Kenapa harus jadi seperti ini?"

Om Ferdi memegang kedua pundakku, "Nel, kamu gapapa?" Aku hanya terpaku kepada ekspresi sedihnya tanpa sanggup menjawab pertanyaan itu.

"Kornel, dengerin Om!" Aku melihat ke arahnya yang mencoba untuk tetap tegar.

"Kita semua tau Marko itu anak yang kuat. Jadi mari kita doakan yang terbaik buat kesembuhan Marko," tangisnya sambil memegang bajuku dengan erat.

Aku mengangguk dengan sangat cepat. Aku tau Marko adalah anak yang kuat, tapi penyakit yang dia hadapi jauh lebih kuat. Penyakit itu sungguh mematikan dan sangat sulit untuk disembuhkan. Aku pun tau, beban yang ditanggung Om Ferdi sangatlah berat. Dia harus merelakan anaknya, tetapi juga harus menjaga istrinya agar tetap tabah dalam menjalani hidup.


# # # # # # # # # #


Pagi ini terasa berbeda bagiku, rasanya sangatlah pahit. Jalan yang selalu kukagumi ketika melewatinya, kini tidak lagi istimewa. Aurel yang terlihat bagai bidadari, kini tidaklah lebih dari siswi pendiam bagiku.

Aku memutar-mutar penghapusku di atas meja kayu, berpikir apa yang harus aku lakukan. Aku masih belum tau apa yang Aurel dan Pak Mario bicarakan kemarin.

"Mungkin hari ini aku harus ke rumahnya," pikirku.

Bel sekolah akhirnya berbunyi, tanda semua siswa diperbolehkan untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku langsung merapihkan alat tulis dan buku- buku di atas mejaku. Setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menuju ke rumah Pak Mario.

Tok-tok-tok— Aku mengetuk pintu rumah tua itu. Perlu beberapa menit hingga akhirnya kulihat wajah Pak Mario. Tidak seperti waktu itu, ketika dia pertama kali melihatku. Kali ini dia menyambutku dengan hangat dan penuh perhatian.

"Mengapa kamu ke sini?" Tanyanya. Kali ini tidak ada teh atau minuman lainnya di atas meja persegi itu.

"Saya perlu tau apa yang Bapak dan Aurel bicarakan malam itu," balasku langsung ke inti pembicaraan.

Pak Mario terdiam sejenak, ia terlihat bingung dengan pertanyaanku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"


BERSAMBUNG

Jalan Keluar pun Berduri [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang