Part 8

1.2K 189 8
                                    

Mobil Porsche Putih milik Shani akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah besar. Rumah yang sudah menjadi tempat berteduh dan melepas semua  keluh kesah tiga orang kakak beradik itu selama bertahun-tahun. Rumah saksi perjuangan jatuh bangun Gracia dan Shani demi kehidupan yang layak untuk mereka berdua dan tentu saja adik bungsunya.

Shani menoleh kesamping dan menemukan Gracia bersandar dengan masih memejamkan mata. Sepertinya kakaknya itu belum menyadari bahwa mesin mobil sudah mati sejak beberapa menit yang lalu. Bimbang antara membangunkannya atau menggendongnya saja kedalam. Akhirnya opsi kedua dia pilih karena melihat wajah kakaknya yang masih terlihat menahan sakit. Beberapa bulir keringat sebesar biji jagung terlihat di pelipisnya. Shani mendesah pelan.

Perlahan dia keluar dari mobil dan berjalan ke sisi samping tempat Gracia duduk. Pintu mobil dibuka, namun kakaknya sama sekali tak bergerak. Apa boleh buat, segera ia menyusupkan satu tangan ke bawah kaki dan satu tangannya lagi ke badan Gracia. Menggendongnya ala pengantin dan segera membawanya masuk kerumah.

"Hei." Gracia terbangun ketika Shani sedang menaiki tangga menuju lantai atas.

"Jangan gerak kak. Nanti kita jatuh." Gracia yang mengerti akhirnya mengalungkan lengannya ke leher Shani.

"Turunin aja kenapa. Udah kayak orang lumpuh aja harus digendong." Ucap Gracia.

Shani tidak menjawab, dia hanya memberi kode agar Gracia membantunya membukakan pintu kamarnya.

Segera ia membawa kakaknya itu duduk di atas ranjang.

"Besok makan yang banyak kak. Kamu kurus banget." Ucap Shani sedikit ngos-ngosan.

"Ngejek kurus tapi gendong kayak gitu aja ngos-ngosan." Nada Gracia sedikit tidak terima.

"Justru karena aku bisa gendong kakak walau ngos-ngosan makanya aku bilang kurus. Bobot kakak udah memenuhi standar kalau aku ngangkat aja udah ga bisa." Bantah Shani.

"Ngeles terus." Ucap Gracia kemudian berdiri.

"Mau kemana kak?"

"Ganti baju. Kita harus siap-siap kerumah sakit lagi."

"Kak...." Shani memanggil Gracia yang kini sibuk mencari sesuatu di dalam lemari.

"Kak..." Panggilnya sekali lagi karena Gracia tak juga menggubrisnya.

"Apa?" Gracia akhirnya menoleh.

"Jangan bikin aku sia-sia gendong kakak dari luar kesini kalau akhirnya aku harus liat sakit kakak kambuh lagi. Malam ini kita ga kerumah sakit."

"Chika?" Tanya Gracia.

"Dia udah baik-baik aja. Ada banyak perawat yang jagain disana. Atau kalau perlu aku telpon Ara biar dia ada temen ngobrol." Gracia diam seperti berpikir sesuatu.

"Stop mikirin hal lain kak. Yang perlu kamu pikirin kondisi kamu sekarang. Dan stop berpura-pura kalau kakak baik-baik aja di depan aku, karena aku ga percaya!" Shani kini berjalan mendekat ke arah Gracia. Mengikis jarak.

Diusapnya pelan tangannya ke pelipis dan dahi Gracia. Benar saja keringat dingin dia rasakan saat tangan itu menyentuh permukaan kulit. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya, serta merta dia memutar posisi mencari piyama milik Gracia di dalam lemari.

"Ayo ganti baju." Gracia yang berdiri disamping Shani hanya bisa menatap tak percaya ulah adiknya ini.

"Malam ini aku ga mau dibantah kak. Sekarang ganti baju lalu naik ke tempat tidur." Perintah Shani. Gracia bergeming.

"Kak? Mau ganti sendiri atau aku yang gantiin?" Shani mulai kesal.

"Oke. Ganti sendiri." Akhirnya Gracia menurut kemudian mengambil piyama dari tangan Shani dan masuk ke kamar mandi.

Nagai Hikari (Love, Lost, Sacrifice) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang