Tsunayoshi POV
Aku terbangun ketika matahari sudah mulai naik. Jam menunjukkan pukul delapan dan bisa kudengar suara ibuku memasak dari lantai satu. Aku meregangkan tubuhku dan segera berjalan menuju ke kamar mandi, bergosok gigi, mencuci muka, lalu kembali ke kamarku dan memakai seragamku, Namimori Middle School, a.k.a Nami-chu.
Untunglah aku tak bangun kesiangan. Tadi malam aku tidur kemalaman gara-gara mengisi buku puisiku. Entah sejak kapan, menulis puisi dan menulis lagu menjadi kegiatan favoritku, dan itu menenangkanku.
"Selamat pagi, Mama." Aku tersenyum, menyapa satu-satunya orang di rumahku selain diriku. Seorang wanita, lebih tinggi beberapa cm dariku menoleh. Rambutnya pendek berwarna coklat, dan matanya yang juga berwarna coklat menunjukkan kehangatan seorang ibu. Ia tersenyum ke arahku.
"Selamat pagi, Tsu-kun!" Ia menyapa dengan riangnya. Aku segera duduk di meja makan seraya memakan sarapan pagi yang disiapkan ibuku.
Sarapn itu dimulai dengan keheningan, seperti biasa. Aku meneguk susuku dengan pelan sebelum menatap mata ibuku.
"Mama... masih belum ada kabar dari kak Gio?" Tanyaku akhirnya. Ibuku menatapku sebelum menggeleng sambil tersenyum.
"Aku yakin dia baik-baik saja, Tsu-kun. Lebih baik kau segera bersiap dan berangkat sebelum kau terlambat. Ini bekalmu." katanya. Aku tersenyum, mengangguk dan berdiri. Kuambil bekal makan siangku dan kumasukkan ke tasku sebelum akhirnya berjalan menuju ke pintu depan.
"Aku berangkat!" Sahutku sambil menutup pintu.
Kuhembuskan nafasku dengan berat dan menatap rumahku sekali lagi.
Ya, hal seperti itu sudah biasa terjadi. Aku selalu bertanya kepada ibuku tentang kabar Kak Gio, tetapi selalu jawaban yang sama yang kudengar. Aku tahu, bahwa aku bukan anak favorit ibuku, dan kenyataan bahwa ibuku lebih menyayangi kakakku ketimbangku. Aku tahu ibuku selalu menangis sedih karena sejak delapan lalu dengan hilangnya ayahku dan Kak Gio, mereka berdua tak pernah memberi kabar. Ya, tak ada yang bisa kulakukan untuk ibuku.
Anak payah.
Aku kembali menghela nafas dan kembali menatap langit. Kubayangkan jika seandainya aku bisa terbang, aku ingin bebas. Terbang di angkasa dan melihat dunia. Dunia yang luas. Cukup bagus.
Oke, aku mulai alay.
Aku sampai di depan gerbang Nami-chu beberapa saat kemudian. Kutemukan beberapa anggota DC (disciplinary committee) termasuk sang setan, Hibari Kyoya berdiri seraya 'menggigit orang sampai mati' bagi yang melanggar peraturannya.
Syukurlah aku berhasil masuk ke kelas tanpa kehilangan apapun.
Seperti biasa, aku tak menghiraukan pelajaran, bermimpi dan berkhayal sambil menatap keluar jendela. Kupandangi langit sambil meresapi warna birunya. Benar-benar indah.
Sejak dulu aku selalu mengagumi langit. Dia begitu misterius. Luas tak terhingga tapi pada saat yang bersamaan selalu menerimamu. Ketika kau menatapnya kau seakan terhisap ke dalamnya.
Ya, aku suka langit.
"SAWADA!" suara teriakan keras membuatku tersentak dan menolehkan kepadaku ke depan kelas. Nezu-sensei, guru IPA ku sedang menatapku. Dari pandangan matanya aku bisa melihat dia meremehkanku.
"Apa yang kau lakukan? Perhatikan kelas! Dasar! Benar-benar tak diuntung! Kau benar-benar bodoh dan idiot, tak bisa melakukan apapun! Siapa lagi kalau bukan Dame-Tsuna! Kau hanya menjadi-"
'Bla, bla, bla, bicaralah sesukamu, pak tua.' aku mengejek dalam hati. Aku tahu kebenaran dari Nezu. Dia bukan Elite, tak pernah bersekolah di universitas pilihan dan sejak di SMA maupun SMP selalu berada di rangking terbawah. Yah, sayangnya aku terlalu malas untuk membocorkannya. Hal itu bisa menjadi blackmail terbaik kan? hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky
FantasyLangit, adalah keharmonisan. Ia menerima segalanya dan tempat di mana para cuara bersandar. Matahari yang memberi semangat, awan yang bebas, hujan yang menenangkan, kabut yang melindungi, badai yang berontak, dan petir yang menggelegar. Ryohei, Kyoy...