Tsuna berjengit kesakitan. Belum ada sepuluh menit ia memasuki kamarnya ketika ia merasakan hyper intuition-nya mulai bereaksi terhadap sesuatu. Ia tak tahu apa, tapi hyper intuition-nya terus saja memberikannya peringatan, sekaligus mengirimkan rasa sakit ke kepalanya.
Tsuna terduduk seraya ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.
'Apa yang terjadi?' Tsuna berpikir seraya bersusah payah menjaga kesadarannya. Dengan sebelah mata menutup dan sebelah mata membuka ia melihat keluar jendela untuk menemukan bahwa langit di luar mulai mendung dan ia bisa mendengar petir menggelegar di kejauhan. Sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia tahu itu.
'Di mana Lambo?' Tsuna tiba-tiba teringat. Dengan susah payah, ia bangun dari tempatnya dan berjalan menuju ke dapur di mana ibunya biasanya berada.
"Mama," Tsuna menyapa begitu ia melihat sosok ibunya di sana. Nana mendongak dari pekerjaan yang sedang dilakukannya dan dengan khawatir berjalan menuju ke arah Tsuna.
"Ada apa Tsu-kun? Apa kau baik-baik saja?" Nana bertanya dengan nada khawatir. Tsuna menggeleng seraya memaksakan senyuman, menahan sakit yang masih terus menyerang kepalanya.
"Aku baik-baik saja, Ma. Apa Mama tahu di mana Lambo?" Tsuna bertanya dengan khawatir. Nana mengerutkan dahinya seraya berpikir selama sesaat. Raut kekhawatiran yang sekejap hilang dari wajahnya mulai muncul lagi.
"Lambo-kun? Tadi siang dia bilang akan menunggumu di taman yang biasa kau lewati sepulang sekolah. Tadi Mama mengajaknya berbelanja sebentar, tapi dia bilang dia ingin menunggumu pulang seraya bermain di taman. Mama memang mengeceknya sejam sekali. Apa kau tak bertemu dengannya, Tsu-kun?" Nana bertanya dengan khawatir. Tsuna menggeleng dengan pelan.
"Tidak. Aku langsung berjalan pulang. Tadi sempat hujan, apakah Lambo tak pulang?" Tsuna bertanya lagi. Kekhawatiran mulai muncul dari dalam dirinya.
"Ya, dia pulang. Tapi kemudian ia mendengar suara langkah kakimu dan pergi keluar lagi." Nana menjelaskan. Tsuna menatap ibunya yang juga mulai khawatir. Ia lalu tersenyum.
"Aku akan mencarinya, Ma. Mama di sini saja bersama dengan Gio-nii, G-san dan Reborn-san. Mama merindukan Gio-nii, kan?" Tsuna berkata. Nana masih menatapnya dengan khawatir.
"Apa kau yakin kau akan baik-baik saja, Tsu-kun?" Nana bertanya. Tsuna hanya mengangguk menenangkan sebelum berjalan menuju ke pintu depan. Setelah membawa sebuah payung dan memakai jas hujan-hanya untuk berjaga-jaga-ia segera melangkahkan kakinya untuk mencari Lambo.
Tsuna menatap langit yang bergerumuh. Ia menggenggam erat payung di tangannya. Hyper intuition-nya yang masih saja terus memberikan peringatan tak membuat segalanya menjadi lebih baik.
'Lambo,'
Giotto mengubah posisinya menjadi lebih nyaman begitu ia melihat Tsuna menyelinap pergi. Walaupun ia merindukan adik semata wayangnya, tapi ia membutuhkan waktu untuk berbicara dengan Reborn dan G tentang suatu hal yang lebih penting dan serius, sekaligus harus disembunyikan dari Nana dan Tsuna.
G yang juga menyadari perginya Tsuna, berpindah tempat ke samping Giotto. Reborn di lain tempat hanya duduk di tempatnya semula seraya memperhatikan sosok Tsuna yang telah pergi.
"Giotto." G memulai. Giotto menghela nafas sebelum menatap sahabatnya itu.
"Dia sangat lucu kan?" Giotto tersenyum kecil. G mengangguk setuju. Sejujurnya ia sendiri pun kaget. Ia tak menyangka bahwa Giotto dan adiknya, Tsuna benar-benar sangat mirip. Bukan sekedar wajah, tetapi juga sampai ke sikap mereka. Bagaimana mereka merespon, bagaimana mereka berbicara dan bagaimana mereka bersikap di depan Reborn (jujur G ingin tertawa melihat wajah Tsuna ketika ia melihat Reborn, salah satu ekspresi yang tak pernah lepas dari Giotto ketika Giotto kabur dari tugasnya maupun latihannya).
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky
FantasyLangit, adalah keharmonisan. Ia menerima segalanya dan tempat di mana para cuara bersandar. Matahari yang memberi semangat, awan yang bebas, hujan yang menenangkan, kabut yang melindungi, badai yang berontak, dan petir yang menggelegar. Ryohei, Kyoy...