1.1 Tukang Bakso

74 8 2
                                    

Ada kalanya hidup penuh dengan peluh dan payah. Seperti siang hari ini. Panas matahari tidak bisa ditoleransi. Perut, kerongkongan, dan mulut juga tidak mau kalah untuk menyusahkan pemiliknya ini. Dasar para anggota tubuh yang durhaka!

Kalian tahu kaliren? Iya, seperti itu keadaan gue di siang hari ini. Ummi belum pulang dari mengajar, Mas Taeyong dan Mas Yuta masih ada di kampus mereka, mungkin. Ayah ... tentunya masih kerja. Sedangkan gue harus terkapar bersama kedua adik yang sedang merasakan hal yang sama seperti gue, kaliren.

Sensasi krucuk-krucuk itu menguar sampai kerongkongan. Perut terasa dililit ular anakonda dan tubuh terasa seperti ditimpa kingkong. Gue menutup kedua mata dengan bantuan lengan kiri. Rasanya terlalu kasihan kalau harus ditaruh di atas perut.

"Mbak, aku mau makan." Itu ucapan Chenle yang sudah memosisikan kepalanya di tangan kanan gue. Ikutan rebah sambil memandang kipas angin yang berputar di langit-langit biru ruang tengah.

"Makan aja. Gak ada yang masak kok." Gue mulai menutup kelopak mata. Dari kisah-kisah tauladan yang pernah gue baca, kalau sedang merasakan hal seperti ini, ada baiknya untuk tidur saja. Satu, biar kaliren-nya enggak terasa. Dua, biar hemat uang dan tenaga. Gue yakin Ayah sama Ummi pasti bangga pas pulang dan lihat kebijakan gue mempraktekkan kisah yang dulu dibacakan mereka berdua pas gue masih kecil. Gue pun tersenyum.

"Mbak, jangan gila! Aku tahu kalau laper bikin orang agak gimana. Tapi, Mbak jangan gila, ya."

Gue melirik asal suara itu, Si Sungchan. Polos, sih, polos. Ngeselin tingkat anak umur delapan tahun, iya. Pake banget malahan.

"Gak boleh bilang 'gila', Chan! Nanti kamu gak dimasakin sama Mbak Fay tahu rasa lho." Chenle memiringkan badannya dan memelukku. "Mbak mau masak 'kan? Aku udah laper banget ini." Plus, satu ciuman di pipi.

Modus. Sama kayak ayahnya kalau mau dibuatin mie instan. Sama juga kayak umminya kalau mau dibuatin teh lemon. Sama kayak dua masnya kalau mau nasi goreng Cak Dul. Sama juga kayak si bontot yang pengin permen Sugus yang mulai langka itu.

Gue mengerang dalam hati. Mau jawab 'enggak', tapi gak tega. Mau jawab 'oke', tapi males banget. Ya Allah berikanlah keajaiban. Gue berdoa dengan sangat khidmat di dalam hati. Gue yakin, 'iman itu ajaib. Kalau keimanan kita hanya sebatas tahu sebab akibat, kita gak akan pernah merasakan keajaiban iman.' Itu perkataan Ustadz Jeffery Al-Kautsary di radio kapan lalu. Dan sekarang gue mau membuktikannya.

"Mbak, ada yang ketok pintu." Sungchan menggoyang-goyangkan badan gue antusias. Padahal, gue gak denger ketokan apapun dari sana. Oh my God, yang bener aja adik bontot gue jadi anak indie. Ah, tidak mungkin.

"Hp-nya Mbak itu, Chan. Cepetan ambilin!" Chenle yang memerintah. Syukurlah ada anak ini. Gue gak perlu keluar urat buat mengahadapi Sungchan.

Gercep. Very very gercep. Gue yakin hp gue tadi ada di kamar Ummi. Gak sampai dua detik kayaknya, Sungchan sudah menyodorkan benda itu ke gue.

"Apa, Chan?" Gue bertanya malas. Dengan mata yang setengah merem, gue terima juga hp itu.

"Ini telpon dari Mas Haelmi."

Gue ber-o ria sambil berusaha mati-matian untuk duduk. Mekanya Sungchan gak mau angkat. Mereka berdua kalau ketemu udah kayak anak seumuran. Gue ambil benda itu dan menekan ikon hijau lalu speaker di sana.

"Apa?" tanya gue to the point.

"Mangkok, sendok, garpu, es teh. Berapa orang?"

"Tiga," jawab gue dengan nada malas, lesu, dan pucat serta mata yang masih setengah terbuka. Akan tetapi, ada seberkas cahaya ilahi yang mau menerangi gue samar-samar.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang