1.3 Pohon Kecil-Kecil

21 5 0
                                    

"Siapa yang nanem pohon kecil-kecil ini di sini, sih?!!" 

Di pagi hari yang cerah ini, Mas Taeyong yang sehari-hari bertugas untuk menyiram tanaman pun unjuk kebolehan dalam dunia tarik suara.

"Udah dibilangin jangan nanem di sini! Masih aja kupingnya gak ditaruh di pinggir!" Bahasanya sudah selevel Ummi gue.

Gue bisa mendengar itu dengan jelas dari kamar gue yang memang terletak  di bagian belakang rumah. Gue melihat ke jendela yang menghadap halaman. Mas Taeyong sedang berjongkok di pojokan halaman belakang sambil tangannya sibuk dengan tanaman di depannya. Sepertinya sedang mencabuti 'benda' yang katanya 'pohon kecil-kecil' itu.

"Uchan! Kamu yang naruh pohon-pohon ini, ya?" Mulailah kakak pertama gue mencari kambing hitam. Sesayang itu memang dia sama pohon mawar pagarnya. Gue juga heran, katanya mawar pagar, tapi kenapa ditanam di belakang rumah yang sudah bertembok tinggi. Tapi, gak heran juga, sih. Dia sempat ingin masuk fakultas pertanian, tapi dipaksa Ummi buat ambil teknik. Akhirnya, dia ambil teknik lingkungan. Lalu, beginilah jadinya. Gue gak tahu sambungannya di mana, tapi gue yakin kalian pintar.

Awalnya, gue gak peduli dengan itu. Mas Taeyong memang lebay kalau ada orang yang ganggu tanamannya. Gue hanya bisa membatin aja. "Cari mati tuh."

Hingga dengan cemprengnya, Sungchan yang bibirnya masih sobek itu berlarian ke Mas Taeyong sambil berteriak, "Itu, Mas .... Mas Haelmi kemarin yang buang kecambah di situ!"

Gue yang semula sudah berpaling dan akan menarik tas gue pun langsung balik lagi. Mendengar nama Haechan disebut, langsung membuat gue waspada.

"Lhoh, tapi kok kecambahnya cepet banget gedenya. Mana banyak lagi." Sungchan yang sudah siap dengan seragamnya berdiri di sebelah Mas Taeyong.

"Kenapa dia naruh di sini?"

"Gak tahu," jawabnya polos sambil mengangkat kedua bahunya. "Kemarin Mbak Fay yang nyuruh Mas Haechan buat buang di belakang rumah."

Mampus.

"Aaiisshhh!" gerutuan Mas Taeyong membuat gue menelan ludah dengan susah payah. Dia membanting tanaman yang dia genggam. "MELINKA FAYRAN ANISI!!! KELUAR DARI KAMAR SEKARANG!!!"

Mati gue.

*******
Gue berjalan ke luar kamar sambil menunduk ketakutan. Berkali-kali, gue menelan ludah dan berusaha untuk 'tidak terlihat seperti orang yang pantas dikambinghitamkan'. Gue mampir ke dapur sejenak untuk minum. Persiapan untuk tenggorokan, kali aja ikutan masuk ke dunia tarik suara.

"Ngapain itu Masmu pagi-pagi udah teriak-teriak." Ummi curhat sambil terus fokus dengan masakan. "Kamu apain tanemannya Mas, kok, sampe dia marah gitu?"

Gue gak menjawab dan berlalu begitu saja dari Ummi. Kaki gue sudah terasa kaku harus berjalan ke halaman belakang. Maunya, sih, kabur aja. Tapi, Mas Taeyong bukan lawan yang boleh diabaikan. Kalau pending, omelannya bisa bertambah dua kali lipat.

"Apa, Mas?" Kenapa malah tenggorokan gue pake tercekat kayak gini? Apa gunanaya gue minum air di dapur tadi? Gue pun cuma menunduk sambil memegangi tangan kiri gue. Gak berani lihat orang di depan gue.

Mas Taeyong berdiri dan menghadap gue. Dia diam untuk beberapa saat. Pertanda banget kalau dia sedang marah besar. Gue mengigit bibir bawah.

"Maaf, Mas." Sangking groginya, ujung mata gue mulai basah dengan cairan asin. Apapun itu selain air mata. Gue gak nangis, ya.

"Pinjem hp kamu." Tangan Mas Taeyong terulur ke depan.

Gue menatap telapak tangan Mas Taeyong. Jemarinya bergerak-gerak ke depan dan belakang. Gue buru-buru mengeluarkan hp sebelum tangan itu beralih ke ujung kepala gue.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang