4.2 Lah, Kenapa?

15 0 0
                                    

Happy Reading, guys! Sorry, tambah gak jelas. 💚




Gue gak tahu harus mendeskripsikan dengan apa suasana kayak gini. Semua diam dan gak berkata. Oke, itu disebut hening. Masing-masing punya pegangan fokus sendiri. Jeno dengan ponsel dia, main. Somi dengan iPhone dia dan ambil beberapa foto buat nanti diunggah ke sosmed, seperti biasa. Haechan dengan stick game, main. Gue dengan buku pelajaran gue, belajar. Oke, itu namanya kami lagi sibuk.

Tapi, ya, tetep aja. Ada yang aneh. Dimulai dari gue masuk ke kamar Jeno bareng Somi, gak ada gitu kata sambutan 'hai' atau 'yo' gitu. Jeno tadi sempet angkat tangan sebentar, sih, pas kami masuk, tapi si buntut Om Johnny itu enggak ngapa-ngapain. Sampai gue lupa kalau ini pertama kalinya gue masuk ke rumah Jeno dan tadi sempat terpukau karena interiornya bagus banget.

Gue diem aja sampai gue rasa atmosfer di ruangan ini udah gak bener. Beneran gak bener, soalnya enggak ada yang bicara sama sekali. Ini kami lagi nongkrong atau apa, sih? Kalau yang biasanya terjadi, Jeno sama Somi bakalan bertengkar entah sekecil apa pun masalah yang diperebutkan. Pelopor utama perdebatan dua sahabat gue itu si Haechan. Terus Joan bakalan dukung Haechan buat ngomporin. Berakhir dengan Yeji yang jewer kuping mereka satu per satu. Termasuk punya gue. Soalnya gue nolongin Somi.

Jadi kangen rame-rame lagi. Kalai cuma empat kayak gini ternyata lumayan sepi. Ah, gak lumayan lagi, mah, ini. Udah senyap banget. Cuma ada suara game Jeno dan Haechan.

"Lo udah selesai belajarnya belum?" tanya Somi yang duduk lesehan di sebelah gue.

Gue menoleh dan menggeleng. "Masih ada dua pelajaran yang belum gue kerjain, sih."

"Tumben belum kerjain. Biasanya lo yang paling semangat kalau ada pr." Jeno mengintip dari balik ponselnya. Dia sedang dalam posisi enak di atas kasur sambil tengkurap. Kepalanya mengarah ke kami.

"Mekanya jangan kelayapan abis sekolah. Waktunya main aja kerjaan belum kelar." Itu kalimat yang barusan keluar dari mulut seorang Haelmi Chanan. Dia duduk di atas kasur juga, sebelah Jeno. Gue cuma melirik sejenak. Percuma gue tatap tajam, dia gak noleh sama sekali.

Gak salah? Yang biasanya ngajak andhok dulu sebelum pulang siapa?

"Eh, iya. Lo, kok, gak bilang, sih, kalau abis ketemuan sama Yeji. Dih, lupa temen." Somi menepuk paha gue. Dia menurunkan ponselnya.

Gue tersenyum manis. Kalau jatuhnya malah asin, gue gak tahu.

"Hehehe. Iya. Tadi dadakan, sih. Sorry, ya, gak kabar-kabar dulu."

Gue bisa dengar Haechan lagi menggumamkan sesuatu tapi enggak jelas. Itu anak lagi kena apa?

"Hallah, bisa vidcall aja, loh. Susah amat." Jeno tidak mengalihkan matanya dari ponsel.

"Ya, tapi, 'kan, beda. Ni bocah mana gak kirim foto sama sekali. Kalau Yeji gak up date sosmed juga gue gak bakalan tahu kalau mereka abis ketemuan." Somi masih pada pendiriannya.

"Keenakan jalan. Lupa segalanya," Haechan berucap lagi tanpa sedikit pun menoleh.

Gue cuma memandang punggung dia dari bawah sini. "Iya, maaf." Lalu, gue kembali menghadap tugas yang belum gue selesaikan. Gue harus ngebut biar bisa santai juga kayak yang lain. Mungkin dengan gitu suasananya bisa berubah. Ini tadi terlalu mencekam buat gue.

Suara gebukan terdengar dari belakang. Gue mencoba untuk enggak menoleh. Percuma niat ngerjain pr gue dengan cepet, nanti fokus gue terpecah lagi. Dengan semangat, gue menulis jawaban di buku gue. Untung yang matematika udah gue kerjain di rumah. Bahasa Indonesia sama Biologi, mah, gampang.

"Selesai, Fay?" tanya Somi dengan tampang sedikit melongo.

"Udah," jawab gue dengan senyuman dan segera memasukkan buku gue ke tas. Udah cukup gue merasa ada di dunia yang berbeda.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang