3.1 Tanaman Mas Taeyong

14 4 0
                                    

Dasar Mas Yuta. Emang kalau udah dari sononya ngeselin, ya, bakalan terus ngeselin meskipun malamnya gue sempet terharu dengan tindakan dia yang langsung nelponin Joan karena tahu gue kangen. Paginya, dengan tanpa memikirkan perasaan gue, dia mengumbar cerita gue ke semua anggota keluarga pas sarapan.

"Jungwoo, Yah, yang cerita ke Yuta," jawabnya saat dia ditanya sumber berita.

Gue menunduk. Dalam hati, gue mengumpat dengan berbagai bahasa yang pernah gue pelajari. Gak, gue gak seberani itu untuk sekedar mengucapkan, "Kurang ajar!" di depan Ayah walaupun hanya keceplosan. Apalagi di depan Ummi. Induk keluarga gue serem kalau melotot, meskipun tetap cantik.

"Baru aja dua bulan, udah kebawa mimpi. Tunggu aja kalau udah bertahun-tahun, nanti Ayah kayaknya bakalan bawa kamu ke tempat Joan buat sambang."

Sungguh itu bukanlah jawaban yang gue perkirakan. Barusan, Ayah 'kan yang berbicara? Hal itu membuat gue tersenyum meskipun gue tahu Ayah tak sepenuhnya sungguh-sungguh dengan ucapan beliau. Setidaknya, beliau ada di pihak gue, tidak memojokkan seperti Mas Yuta dan dua buntutnya. Siapa lagi kalau bukan duo bontot, Chenle dan Sungchan. Ummi dan Mas Taeyong hanya tersenyum.

Ah, tidak. Lebih tepatnya, kakak pertama gue itu terlihat tidak peduli. Gue menarik napas dalam. Kok berasa agak kecewa gitu, ya?

"Makan, Fay." Ummi mencubit pipi gue pelan.

Gue yang sedari tadi mengamati Mas Taeyong pun menoleh. "Iya, Mi." Gue menyuguhkan senyuman yang manis biar gak kalah dengan milik Ummi.

Kami pun meneruskan acara sarapan dengan tenang setelah Ayah menegur kelakuan gue dan Mas Yuta yang saling ejek dengan gestur bibir. Tidak. Jangan tanya apa yang terjadi jika kami tidak menurut. Ayah kami bisa lebih kejam dari Ummi untuk memotong uang jajan kami.

"Aku duluan."

Semua atensi menuju ke Mas Taeyong yang tiba-tiba berdiri dengan membawa alat makannya yang kotor. Kecuali Sungchan dan Mas Yuta, sih. Mereka lebih perhatian dengan makanan yang masih belum masuk ke perut mereka.

"Ke kampus?" tanya Ummi. Kami menunggu jawaban. Suasana menjadi lebih serius.

"Ke halaman belakang." Mas Taeyong berlalu untuk menaruh piringnya di washtafel.

Ayah dan Ummi mengangguk. Akan tetapi, gue masih ingin bertanya. "Kenapa?" Gue sengaja memelankan suara dan mendekatkan bibir ke telinga Mas Yuta.

"Ngambek. Kayak lu."

Gue menjepit daging paha Mas Yuta di antara jempol dan telunjuk gue. Sebal. Mau tidak mau, dia harus menahan rasa sakit itu agar tidak kena penalti Ayah lagi.

Kami selesai makan tidak lama setelah itu. Gue menjalankan tugas fardlu ain gue sebagai tukang cuci piring. Sesekali gue mencuri pandang ke Mas Taeyong yang sedang jongkok di sana. Sebenarnya Mas Taeyong kenapa, ya?

*******
"Mas." Gue jongkok di samping Mas Taeyong yang menghadap ke tembok halaman belakang. Dia sedang membenahi tata letak pot-pot yang berukuran sedang di sana. Itu pot yang tempo hari penuh dengan tanaman kecil.

"Hmmm." Tanpa menoleh.

Gue menghela napas. "A-aku ... aku mau pamitan berangkat."

"Minta dianterin?" Sebenarnya itu adalah tawaran, tapi terdengar seperti sindiran dengan nada datar.

"Enggak. Enggak, kok. Cuma mau pamitan doang." Gue celingukan, mencari alasan. "Tangan Mas kotor, ya? Ya, udah. Aku duluan, ya. Dada Mas Taeyong." Gue membalikkan badan sambil menggigit bibir bawah gue. Di dapur sana ada Chenle yang menatap gue dengan penuh harap. Gue berisyarat dengan lambaian tangan kecil di depan dada lalu menyilangkan tangan. Chenle mengerucutkan bibir dengan wajah masam.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang