2.1 Warna Tubuh

15 4 0
                                    

Mata gue terasa sangat gatal. Sedari keluar rumah sampai di sekolah tetap saja terasa gatal. Haechan sampai berkali-kali tanya tentang keadaan gue.

"Udah jangan dikucek-kucek. Nanti beli Insto." Dia menyita tangan gue di pinggangnya dan menyetir dengan satu tangan. Gue pun hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata dengan sedikit tekanan saat merem.

Tiba di sekolah. Gue turun dari boncengan dan merunduk untuk menghayati mata gue yang terasa nikmat saat gue kucek. Enak banget. Puas, setelah setengah jalan tadi gak gue kucek.

Terdengar suara jagang yang diluruskan. Lalu, gue merasa ada yang menarik kepala gue dan didongakkan. Refleks, gue menurunkan kedua tangan gue dan pasrah.

"Kenapa mata lo?" tanya Haechan yang agak merundukkan kepalanya untuk melihat mata gue.

"Gak tahu. Gatel." Gue mencoba untuk menundukkan kepala untuk menguceknya lagi, tapi kepala gue ditahan.

"Lihat atas!"

Lantas, gue mengarahkan pupil gue ke langit. Gue mengerjap-ngerjap cepat saat tiupan angin dari bibir cowok itu mengenai mata gue. Percuma. Mata gue masih gatal. Tangan gue kembali ditampik untuk tidak ikut campur. Haechan menarik kantong mata gue dan melihat-lihat dalamnya. Dia meniup mata gue lagi.

Yang gue rasakan? Ya, perih, lah. Kering seketika. Gue memejamkan mata dengan sangat erat untuk menahan rasanya.

"Anjir, mau cipokan lo!" Teriakan itu membuat gue membuka mata. Kepala Haechan oleng ke kiri dan tangannya dengan cepat menarik tubuh tersangka dalam pitingan. Itu Jeno. Dia sedang memukul-mukul lengan Haechan agar melepaskannya.

"Koyek! Koyek! Koyek!" Kepalan tangan kanan Haechan menjitak kepala Jeno berkali-kali dengan tekanan di setiap ketukannya dan berakhir digeser kuat yang pasti menciptakan sensasi panas. Terlihat dari cara Jeno menutupi bekas jitakan di kepalanya itu.

Gue diam saja, masih sibuk merasakan sisa perih di mata sambil mulai menguceknya lagi. Melihat dua orang di depan gue gelut seperti ini sudah biasa. Tapi, yang tidak biasa adalah seseorang yang sedang terkekeh di sebelah mereka berdua. Dia menggunakan seragam yang sama dengan milik kita, tapi betnya berbeda. Dia kakak kelas kita bertiga sekaligus kakak Jeno, Kak Mark. Gue tahu dia memang receh. Tapi, kenapa recehnya dia terlihat menawan dengan siraman sinar matahari dan hawa pagi yang teduh?

Gue mengerjap-ngerjapkan mata. Sudah tidak perih lagi. Gak perih, tapi tetap gatal.

"Hai, Fay!" Dia menyapa dengan mengangkat tangannya setara dada disertai sebuah senyuman.

"Hai juga, Kak!" Gue sedikit menundukkan kepala. Tangan gue masih sibuk dengan mata.

"Mata kamu kenapa?" tanyanya sambil berisyarat dengan telunjuknya.

"Hah?" Bukan karena kaget. Cuma tiba-tiba gugup.

"Mata kamu. Gak papa?" Dia bertanya lagi. Tangannya terjulur ke depan dan langsung ditampik oleh Haechan.

"Heit! Heit! Tangannya, lik!" Dia sudah melepaskan Jeno dari pitingannya.

Kak Mark menarik lagi tangannya. Dia melirik Haechan sebentar. Senyumannya hilang sejenak.

"Mataku gak papa kok, Kak. Cuma gatel aja," kabarku yang sebenarnya ... gak penting juga, sih.

"Jangan dikucek terus." Dia melarang. Gue menurunkan tangan. "Nanti tambah iritasi, loh."

Kedua alis gue terangkat. Gue tersenyum dan mengangguk paham.

"Ya ... dari tadi itu yang gue bilang." Haechan memegang bekas pukulan yang baru saja gue layangkan di sisi kanan perutnya. Gue melanjutkan senyuman manis gue ke Kak Mark.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang