4.4 Masih dengan Haelmi

7 0 0
                                    

Gue diam sesaat setelah menuangkan mie ayam gue ke mangkok. Gue melirik ke Haechan. Enggak ada pergerakan sama sekali dari cowok itu. Biasanya, dia langsung gercep ambil sawi yang ada di mie ayam gue. Apa karena emang keadaannya kita lagi gak kayak biasanya, ya, mekanya dia enggak jumputin sawi gue.

"Kenapa? Kamu enggak suka sama mie ayam yang dibawain Haelmi?" Pertanyaan itu membuat gue yang sedang merenungi sayuran hijau itu jadi sedikit gelagapan.

"Enggak, Tante." Lumayan kagok, sih. Tapi, gue berusaha baik-baik aja.

"Ini mie ayam yang di depan komplek itu, kan, Mi?" tanya mamanya Jeno ke Haechan.

"Iya, Tan. Mie ayam paling enak tak ada duanya." Haechan mengacungkan jempolnya.

Dari baunya aja gue udah tahu. Orang biasanya juga gue sama dia ngandhok di situ. Tapi, enggak mungkin juga gue langsung nyolot kayak gitu ke Haechan sekarang. Bakalan aneh.

"Kamu enggak pernah makan di sana, Somi?"

Ini, nih, yang masih membuat gue sangsi. Gue masih Somi. Dengan wajah terkekeh agak cengengesan, gue iyain aja. Meskipun setelahnya gue ngaku. Agak nipu memang. "Biasanya beli di sana juga, kok, Tan."

"Ya udah, dimakan. Masa dilihatin melulu."

Gue memberikan senyuman sungkan terpaksa dan terindah. Dari tadi gue melulu yang dipojokin. Mau nangis aja gue. Tapi enggak mungkin. Rasanya tambah sesak aja di dada. Astaga.

Satu tarikan napas. Gue mulai menyendok mie ayam yang ada di depan gue. Ya ... setelah gue singkirkan itu para sawi hijau yang membuat gue agak enggak nafsu. Sungguh, gue sama sawi hijau enggak bisa jadi teman. Gue berulang kali mencoba makan sayuran itu pas Ummi masak, tapi percuma banget. Kata yang lainnya enak, tapi itu malah membuat gue mual. Jangan sampai ketelen deh kali ini. Kalau enggak, gue bisa semakin memperburuk suasana canggung antara gue dan orang-orang yang ada di sini.

Hingga saat itu tiba. Saat di mana mie gue tinggal sedikit. Sawi hijau itu masih di sana. Please, siapa ajalah selain Haechan tolongin gue. Ini gue sedang dilihatin sama mamanya Jeno.

"Habisin atuh sawinya, Somi. Makan sayuran, biar sehat."

Reaksi gue? Hanya nyengir. Sumpah gue gak bisa makan sawi. Berkali-kali lagi gue melirik ke Haechan tapi gue enggak dapet respon apa-apa meskipun pandangan kami sempat bertemu beberapa kali. Haechan beneran marah ke gue, ya?

"Iya, Tante."

"Jangan iya doang. Dimakan, gih. Cewek itu juga butuh sayuran yang banyak biar kuat. Biar enggak lesu."

"Ma." Kak Mark mungkin udah sungkan banget karena dari tadi mamanya dia ngomeli gue terus. Tapi, gue bakalan kayak gitu, sih, kalau Ummi cerewetnya lagi kumat. Apalagi sama temen gue yang baru kenal.

"Kenapa? Mubadzir kalau enggak dimakan. Sayuran tuh sekarang mahal. Enggak ilok kalau dibuang-buang."

"Hehehe. Iya, bener kata Tante, Kak." Lalu, dengan gobloknya gue memakan semua sawi itu tanpa sisa. Hanya dua kunyahan dan langsung gue telan. Enggak ada pilihan lain. Gue juga enggak mau terus-terusan diomelin.

Seketika gue tersentak dengan denyutan yang berasal dari dalam perut gue. Gue mual. Tangan gue sontak gue pakai buat menutupi mulut. Enggak sopan kalau kayak gini. Gue harus tahan dengan sekuat tenaga.

"Kamar mandi."

Tangan gue ditarik dengan kuatnya. Membuat langkah gue yang enggak siap jadi hampir terjatuh. Tapi, akhirnya pundak gue dipegang juga buat memberi keseimbangan biar gue enggak limbung lagi.

"Jeno, pinjem kamar mandi."

Gue dibawa ke kamar Jeno dan dimasukkan ke kamar mandi. Menghadap ke washtafel, gue mengeluarkan semua isi perut gue yang barusan masuk. Tanpa sisa. Leher belakang gue dipijit ringan. Gue nangis dan enggak bisa sembunyiin air mata gue lagi. Rasanya sakit banget. Entah karena mual yang masih gue rasakan meskipun udah enggak ada lagi yang bisa gue keluarin atau fakta bahwa Haechanlah yang narik gue ke sini, dia masih peduli.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang