2.3 Video Call

21 4 2
                                    

"Hai, Fay!" Suara itu kencang menelusup telinga gue. Bahkan seperti menusuk tajam.

Gue membuka mata dengan sangat malas. Asli, gue masih ngantuk parah. Tapi, kenapa ada suara ramai-ramai begini?

"Joan?" pekik gue, langsung terduduk tegak dari tidur. Gue melihat sekilas ke samping. Mas Yuta memegangi gawai bergambar teman gue itu.

"Apa kabar lo?" tanya dia yang memang tidak ada slow-slow-nya. Dia memakai baju kasual dan duduk di sofa. Mungkin dia ada di rumahnya.

"Kangen lo." Bukan gue yang jawab, tapi Mas Yuta. Lelaki itu duduk di sebelah gue setelah menepuk paha gue dengan tidak kira-kira.

Joan tertawa. "Mas Yuta tumben pengertian." Dia mengedipkan matanya sebelah. Mulai genitnya.

"Gue 'kan kakak yang baik hati," katanya sambil menyelipkan lengannya ke leher gue. Gue ditarik untuk kembali rebahan di atas bantal. Sama keteknya Mas Yuta juga, sih.

Gue diem aja selama beberapa saat. Gue cuma melihat Joan yang tertawa jijik dengan perkataan Mas Yuta barusan. Di sana masih terang. Gue pun berpikir tentang jam berapa di sana sekarang. Ah, gue baru keinget kalau selisih dua belas jam. Pantes.

"Gak sekolah, lo?" tanya gue asal. Bingung cari topik yang pas. Bukan masalah gue canggung sama Joan atau enggak. Masalahnya adalah Mas Yuta. Mungkin kalau mas gue satu ini gak lagi di sini, gue bakalan bicara panjang lebar sama Joan. Sangking bisa panjangnya pembahasan yang kita bicarakan, gue yakin bakalan malu banget kalau Mas Yuta dengar.

"Gak. Tadi pagi doang. Gue tadi dijemput Papi buat jaga Mami gue." Joan menyibak rambutnya ke belakang. Asli, ini anak vibe-nya udah barat banget.

"Tante kenapa?" Gue benar-benar khawatir.

"Kambuh lagi. Untung, ya, gue iyain ajakan orang tua gue buat ke sini. Coba kalau enggak. Gue mungkin bakalan menyesal."

Gue tersenyum, menguatkan Joan. Dia menaikkan kedua alisnya, mengerti apa yang gue isyaratkan. Sejujurnya, gue yang menyuruh Joan untuk menerima ajakan orang tuanya buat tinggal bareng di Amerika. "Thanks."

"Masama. Gue beneran kangen lo." Akhirnya kalimat itu keluar juga. Mata gue berkaca-kaca. Iya, gue mengaku kalau gue gak bisa tahan sekarang. Rasanya pengin nangis lagi.

Joan tertawa terbahak-bahak. Gak. Bukan seperti ini reaksi yang pengin gue lihat. Meskipun Joan orangnya suka celelekan dan gak gampang mellow, tapi dia gak bakalan kayak gini kalau sudah menyangkut tentang kangen. Apalagi kami sendiri yang mengalami. Gue rasa ada yang gak beres. "Iya. Iya. Ututututu ... yang kangen sampai kebawa mimpi."

Gue langsung memejamkan kedua mata ini. Kenapa gitu loh, firasat jelek gue kuat banget saat ini.

"Haelmi?"

Joan masih tertawa. Dia menggelengkan kepala dan menunjuk ke layarnya. "Tuh orangnya. Kasih tahu Om Suho, Mas. Sungchan juga. Hahahah."

Mampus.

Gue melirik ragu ke samping. Mas Yuta tersenyum lebar sambil mengelus-elus kepalanya sendiri ke belakang. Tawanya terdengar samar, seperti tertimbun di dadanya yang bergetar ini. "Iya. Besok pagi aja. Kayaknya seru kalau pas sarapan."

Gue langsung mencubit pinggang Mas Yuta. Refleks, dia dengan cepat menjauhkan tangan gue dari badannya dan menggenggamnya kuat. Gue yakin pasti cubitan tadi sakit banget meskipun Mas Yuta gak teriak. Badan kurusnya tadi sempat melengkung kaku.

"Ngapain lo ngimpi gue? Ada gue juga lo mainnya sama Haelmi."

Gue mengerucutkan bibir. "Ya, namanya kangen masa kudu pakai alasan?"

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang