6.3 Gara-Gara Es Doang

5 0 0
                                    

Gue sedang berjalan bersama Somi di koridor sekolah saat satu suara yang sangat gue kenal memanggil nama gue dengan begitu semangatnya dari samping. Di sampimg jalan koridor ini ada lapangan yang biasa digunakan untuk upacara atau olah raga. Sekarang sedang istirahat. Enggak mungkin yang panggil gue sedang melakukan upacara, kan?

Gue menoleh. Di sana, Jeno dengan semangatnya melambaikan tangan. Dahi gue mengerut. Hingga telunjuk lelaki itu menuju ke arah lelaki yang dia peluk pundaknya.

Bangsat, ngapain dia manggil gue dan nunjuk kakaknya sendiri. Gue pun tersenyum tipis dan sedikit menganggukkan kepala, sebagai sapaan sopan buat kakaknya Jeno. Iya, Kak Mark. Gue juga enggak sesegan itu untuk menyebut namanya, kok.

Tiba-tiba gue merasakan cubitan di pipi gue. "Jalan lihat jalan. Jangan lihat cogan!"

Gue menoleh. Di hadapan gue ada Haechan yang membawa es di plastik. Gue manyun, memajukan bibir bawah gue. "Bagi esnya dong."

"Males." Haechan malah menjulurkan lidahnya dan masih mencubit pipi gue.

Gue melepaskan tangannya dari wajah gue dan berusaha merebut es tersebut. Enggak segampang itu ternyata. Soalnya dia juga mengulurkan tangan ke atas dan berusaha menjauhkan esnya dari gue.

Sejenak kemudian, kami terdiam. Es yang ada di genggaman Haechan sudah pindah tangan. Bukan ke tangan gue, tapi ke tangan Jeno. Entah kenapa tuh anak udah ada di samping kami.

"Jen, siniin." Gue memohon.

Jeno meminum es Haechan dengan sangat bersemangat. "Ahhh, enak banget." Dia ini malah ... "Heh, gue udah bermurah hati buat panggil nama lo, ya, dari lapangan sana. Malah ditinggal rebutan es sama kadal ini." Jeno menyenggol tubuh Haechan.

Si Haechan sedikit terpantul ke samping. "Mana gue tahu kalau lo manggil dia. Balikin es gue." Dia meraih esnya lagi.

"Gue, dong." Somi memelas dan meminta.

Mata gue membulat. Lah, anjir, dengan gampangnya si Haechan memberikan itu es ke Somi. "Gue juga mau," ucap gue.

"Bilang Haelmi ganteng gitu."

"Huweeekk!"

"Ya, udah kalau enggak mau."

Gue menghentak-hentakkan kaki. "Siniin, kok, Mi! Gue juga mau."

"Bilang Haelmi ganteng. Cepetan, nanti gue kasih." Haechan dengan senyum tengilnya mulai membuat gue kesal.

Gue menatap Haechan yang meminum esnya lagi sambil meledek gue. Lengan gue disenggol oleh Somi. "Tinggal bilang doang apa susahnya. Yang penting bukan dari hati lo, kan, ngakuin."

Sebenarnya bukan itu masalahnya. Gue tahu sebenarnya Haechan cuma mau panasin gue aja dengan enggak mau bagi es. Maka dari itu dia sengaja goda gue. Ih, dasar.

Gue pun diam dan tersenyum tipis. "Enggak jadi." Gue berlalu begitu saja tanpa menggubris panggilan dari ketiga temen gue yang ada di belakang sana. Sumpah gue bete. Bete banget malah karena kayak gue yang enggak diajak sendiri gitu.

Ah, tau, ah. Gue lagi sensitif, kayaknya.

Gue pun melangkahkan kaki menuju kantin dan membeli es. Sekalian aja buat ngadem soalnya udara sekitar juga sedang panas banget. Saat gue mau menyerahkan uang bayaran, ada tangan yang mendahului.

"Dua, ya, Mas. Sama aku satu. Samain aja," ucap orang yang punya tangan itu.

Gue menoleh ke samping. Ternyata itu adalah Kak Mark. Gue langsung freeze begitu aja.

"Uangnya disimpen balik, Fay. Ditabung aja." Kak Mark tersenyum.

Gue yang sungkan pun akhirnya menurunkan tangan gue dan meletakkan uang gue tadi di saku. "Makasih, Kak." Enggak mungkin, kan, ya, gue nolak rejeki.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang