4.3 Saya Somi

12 0 0
                                    

"Kakak sama Bunda lo belum pulang?" Somi masih merangkul pundak gue pas kami masuk ke rumah Jeno. Gue melirik ke dia. Emang gue tadi keluar seberapa lama sampai dia tanya kayak gitu.

"Loh, Kak Mark? Gue kira Jeno tadi," terusnya, membuat gue menengok ke arah yang sama. Tanpa banyak reaksi, dalam hati gue cuma, oh, ternyata beneran Kak Mark, bukan Jeno. Oh, ternyata udah pulang.

"Ha-hai." Dia berdiri sambil mengangkat tangan canggung. Mungkin maunya sepaket sama sapaan. Tapi jatuhnya kayak orang kepergok.

Gue dan Somi sedikit mengangguk sopan dan memberikan senyuman. Maunya sepaket balasan sapa, tapi jatuhnya kayak orang enggak niat.

"Haelmi mana?" tanya sebuah suara dari bagian rumah yang lebih dalam. Ternyata Jeno ada di dapur.

Mata kami langsung menangkap sosok wanita paruh baya yang berdiri di sebelah Jeno. Dengan serempak, misi kami berubah menjadi 'abaikan Jeno dan menyapa istri pemilik rumah biar enggak langsung diusir dan terkesan sopan'.

"Hai, Tante." Kaki kami udah kayak ada pakunya. Mau maju salim tapi gak bisa gerak. Terlalu syok kali, ya.

"Hai. Temennya Jeno, ya? Ya ampun cantik banget. Sini. Sini. Tante tadi beli sesuatu." Ramah. Itu kesan pertama yang gue tangkap dari bundanya Jeno.

Somi menurunkan tangannya dari pundak gue. Dia menggantikan rangkulan tadi dengan gandengan tangan. Kami saling bertukar pandang sejenak lalu baru mendekat ke arah dapur, memenuhi panggilan bundanya Jeno tadi.

Jangan ketawa. Kami emang dua remaja puber yang canggung juga menghadapi sosialisasi kayak gini. Rasa sungkan lebih dominan, sih. Aslinya Somi ini lebih luwes dari gue soal menghadapi orang. Tapi gak tahu, dia mungkin terjangkit penyakit gue.

Terlihat ada banyak cemilan dan bahan makanan yang masih berada di kantong plastik. Ada beberapa yang udah dikeluarkan juga.

"Ya ampun, temennya Jeno cantik banget. Kamu yang namanya Fay, ya? Ih, cantik banget. Yang tadi jalan sama Mark itu, 'kan?" Ucapan bundanya Jeno itu membuat gue terdiam. Cewek mana yang enggak malu kalau dibilang kayak gitu. Dih, malu banget. Lalu rasa malu itu agak digeser dengan kekikukan Somi dan keplongoan gue. Untung gue belum mengangkat tangan terlebih dahulu buat salim. Nyatanya, tangan bundanya Jeno terulur panjang ke cewek sebelah gue ini.

Gue, Somi, dan Jeno sama-sama membuka mata lebih lebar. Kayak blank aja gitu. Gak tahu harus berkata apa.

Dan dengan kekehan canggung ala sosialita handal, Somi tetap menyambut tangan itu dan menyaliminya. Iya, pakai cium tangan. "Hehehe. Saya Somi, Tante. Ini yang Fay." Dia mencoba membenarkan.

"Oh, ternyata ini yang Fay? Hmmmm." Gumaman akhir beliau membuat perasaan gue gak enak. Takut beliau juga malah ikutan canggung.

Berganti gue yang menyalimi beliau. Gue pasang senyuman yang sebersahabat mungkin. Mengabaikan kesalahan kecil tadi. Orang bisa aja salah, 'kan? "Hehehe, iya, Tante. Saya yang Fay. Dia Somi." Oke, penjelasan gue enggak guna emang.

"Tante kira yang ini, yang Fay. Ih, kamu kok cantik banget, sih? Gemes lihatnya."

Jangan berharap banyak. Itu yang gue tanamkan setiap gue ada di samping Somi. Contohnya kayak sekarang. Karena, ya ... mau bagaimana lagi. Temen gue ini cantiknya cetar sekali. Ibarat setangkai mawar merah, nih, ya, gue cuma daun keringnya doang. Cuma pelengkap. Tentu saja pujian itu tadi ditujukan ke Somi dan bukan ke gue.

Beberapa detik kemudian, Somi udah pindah di samping bundanya Jeno untuk membantu. Apa gue bilang? Somi itu sebenernya gampang buat hadapi orang yang baru dikenal. Cuma tadi agak konslet aja kena penyakit gue.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang