5.4 Kalau Punya Pacar

8 0 0
                                    

Gue lesu, lemas, tak berdaya, dan berkeringat dingin. Ini asli gue harus ke UKS buat ambil obat penambah darah, sih. Darah gue sepertinya udah habis menguap karena mendidih dengan ucapan Haechan tadi.

Dia bilang dukung-dukung aja? Ih, banyol! Kalau gitu ngapain pakai acara ngambek segala?

"Kenape lo?" Suara itu ... Somi. Dia menangkup kedua pipi gue dan diuyel-uyel. Gue pasrah. Enggak ada tenaga juga buat melawan.

"Som, gue kalau punya pacar, aneh gak?"

Mata bulat Somi jadi tambah bulat. Dia menepuk-nepuk pipi gue. "Sadar, Fay! Sadar!"

Segera, gue menjauhkan kepala dari tangan cewek itu. Gaya aja si Somi kayak model, ya, aslinya model, sih. Tapi dia kelakuannya kayak preman pasar.

"Sakit banget, tahu!"

Somi cuma cengengesan.

"Hahaha. Yang pasti pacar lo bakalan tahan banting dan punya nyali gede, sih." Komentar Somi membuat alis gue mencuat. Gue meletakkan kepala di atas meja kelas dan menatap dia dengan penuh tanya.

"Emang pacaran sama gue kayak masuk kandang macan?"

Somi menggeleng sambil menggerakkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Bukan kandang macan. Udah kayak masuk ke kedalaman laut yang penuh ikan hiunya."

"Hmm?"

"Enggak bakalan terduga apa yang akan terjadi. Ah, gitulah, Fay."

"Kok bisa lo mikir gitu."

Somi berdehem. "Gini, ya. Lo anak cewek satu-satunya di keluarga. Atas lo cowok dua. Bawah lo cowok dua. Ayah dan Ummi juga bukan orang sembarangan. So, apalagi yang enggak ditakuti oleh cowok buat deketin lo?"

Gue berpikir sejenak. Bener juga yang dikatakan oleh Somi. Dua bontot bawah pasti bakalan riweh dan malakin. Dua leher atas juga bakalan nanyain terus; di mana, lagi apa, ke mana, bareng siapa kalau gue jalan. Terus, dua kepala inti ... cecaran pertanyaan mereka berdua bakalan pecahin gendang telinga dan bikin jera orang yang datang ke rumah.

Gue menggelengkan kepala.

"Kenape lo?"

"Terlalu seram. Enggak. Enggak. Lupain apa yang gue tanyain ke lo tadi. Kasihan orang yang jadi pacar gue."

Somi menarik cermin tangannya dari tas. Dia membenahi tatanan rambutnya. "Menurut gue, kalau dia emang niat berusaha dapetin lo, dia bakalan berusaha juga buat dapetin hati keluarga lo. Jadi, enggak ada yang harus dikasihani, dong."

Nah, iya. Bener juga kata si Somi.

"Kok, lo bisa pinter gini?"

"Yee, ngeledek. Lo pikir masalah hubung-menghubungkan gue bukan apa-apa? Gue ini komentator ulung, ya."

"Kayak yang di pildun?"

Somi memutar bola matanya lagi. "Serah lo bilang apa."

Gue mengangguk. "Iya, sih, emang terserah gue."

Somi hendak mencakar gue. Akan tetapi ada suara lantang yang tiba-tiba menghentikan perbuatannya. "Gue laporin ke guru BK, ya, ada perundungan di sini." Itu Jeno. Dia menunjuk ke arah gadis model itu dengan tegas sambil mengambil tempat duduk di depan kami.

Somi yang kaget langsung kicep. Hanya sebentar, sih. Setelah dia tahu yang ngomong begitu adalah Jeno, dia malah menarik kerah seragam lelaki itu dan menampar lehernya. Ouch, pasti sakit, sih. "Diem lo!"

Jeno mengusap-usap bekas pukulan Somi. "Heran. Gue mending bocorin aja kelakuan lo ke media biar semua orang tahu kalau Somi yang dipuja dan dipuji yang seliweran di majalah, aslinya berandalan." Dia melepaskan diri dari genggaman gadis itu.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang