1.2 Kecambah

22 4 2
                                    

Yang gue rasakan pertama kali saat keluar rumah adalah hembusan angin panas yang udah kayak spoiler-an hawa neraka. Naudzubillah. Cepat-cepat gue mengahampiri Lil Bittz. Iya, itu nama sepeda motornya Haechan. Sebenernya, itu punya emaknya, sih, tapi dia yang beri nama.

Gue mengambil kresek merah yang berisikan banyak bungkusan. Sempat gue cek dan hitung isinya. Ternyata ada lima kotak nasi dan empat kotak ayam geprek. Ada tulisan 'lv 1' di salah satu kotak ayam gepreknya. Sumpah, mulut Haechan minta dikucir. Gak enak diam memang. Pengin gue pukul.

Kaki gue hendak melangkah ke rumah, tapi mata gue tertarik dengan bungkus plastik yang ada di wadah bawah setir. Gak estetik, sih, sampai segitunya menarik perhatian gue. Hanya saja kenapa isinya gak ngambung banget sama ayam geprek. Isi plastik itu kecambah. Iya, kecambah yang biasanya dipakai buat taburan rawon. Kecil-kecil, pendek-pendek, mengekeret gimana gitu, persis kayak jenglot ukuran mini legend. Gue pun ikut memasukkannya ke dalam kresek merah ayam geprek. Siapa tahu itu sebenarnya tambahan.

"Cepet banget, Mbak?" Sepertinya Chenle sudah gak pudung lagi. Dia ada di dapur, depan washtafel dan saat gue melihat meja ruang tengah, sudah tidak ada mangkok di sana. Entah apa yang merasukinya atau biasanya Haechan yang kasih kata mutiara iming-iming. Sungchan juga. Dia membawa baskom yang gue tebak isinya adalah air. Of course, buat kobokan.

"Pake kekuatan Sonic," jawab gue asal. Gue duduk di sebelah Haechan. Tangan gue gatel kalau gak cubit dia sampai teriak. "Balesan buat panas di luar."

Dia menjerit minta ampun sambil berusaha menjauhkan tangan gue dari pahanya. Dia menahan tangan gue agar gak beraksi lagi. "Tapi gak enak, Beb, kalau gak ada drama," bisiknya yang membuat gue malah pengin nampol.

"Ini, Le!" Gue memanggil Chenle sambil mengeluarkan kotak ayam geprek satu per satu. "Nasinya dobel, seperti pesanan."

"Aku level satu!" Sungchan langsung berbinar saat gue memberikan kotaknya. "Makasih, Mbak. Mbak emang-" Bocah itu mengacungkan jempolnya ke gue.

"Level tiga." Chenle duduk di depan gue dan tersenyum. Nasi dobel dan level tiga membuatnya memberikan heart sign dengan jari telunjuk dan jempolnya ke gue.

"Cepet makan. Kalian berdua gak usah ngambekan kenapa, sih?" Asli, pengin jitak. Mereka malah cengengesan.

Gue melirik ke arah Haechan yang mulai membuka kotaknya. "Makasih." Gue berbisik. Dia cuma tersenyum simpul tanpa menoleh. Tangannya sibuk membuka hidangan, tak menoleh sedikitpun. Malah bikin pengin nabok. Sok keren soalnya.

"Ini buat lalapan?" Tangan gue meletakkan bungkus kecambah di atas meja, dekat dengan kotak Haechan.

Semua alis yang ada di sekeliling gue mengkerut. "Masa cambah buat lalapan geprek. Mbak ini gak nyambung, ah. Gitu kok jadi lalapan. Gak keren blas." Gue pengin banget ambil plester hitam buat mulut Sungchan. Dih, gak inget ama pudungnya. Mana ngatain gue.

"Kok ada ini?" Haechan mengangkat alisnya.

"Gak tahu tadi ada di motor lo. Mekanya gue bawa masuk. Kali aja memang tambahan, tapi gak kemasuk ke kresek."

"Lha, Pak Agus ngasih apa enggak, lho, Mbak?"

Seketika pertanyaan Chenle menyadarkan gue akan maksud mata Haechan yang melotot ke gue. Gue hehahehe. Gue ambil kembali bungkus kecambah itu dan menyimpannya di bawah meja.

"Kali aja Mbak yang lupa. Y-ya, keknya beneran Mbak lupa. Hehehe." Untuk saat ini hanya ada kata 'lupa' yang memang gue tahu itu gak ada sambungannya apapun dengan kejadian ini.

"Mungkin itu belanjaan Ibu yang ketinggalan." Haechan mengambil alih bungkusan itu dan memperlihatkannya ke Chenle dan Sungchan lalu memasukkannya ke kantong. Dia menyengir tanpa dosa seakan ingin mengatakan, "Udah, gak usah dibahas lagi."

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang