6.2 Ruang Petuah

2 0 0
                                    

Ini yang enggak gue sukai kalau sedang makan bersama. Gue jadi bahan tontonan dua kakak gue yang super kepo. Kalau adik gue, mah, mana ada kepo sama mbaknya. Tapi, sungguh rasanya risih banget dilihatin sama dua orang beda kepribadian di depan gue ini. Heran juga, biasanya Mas Yuta bakalan duduk di sebelah gue, malahan sekarang duduk di depan gue. Di sebelah kanan kiri gue ada dua bontot.

"Fayran, besok ikutan Ummi ke pasar, ya. Bantu Ummi buat belanja." Ummi gue, Bu Irene yang cantik dan juga cerewet mengultimatum. Enggak ada alasan buat gue menggeleng. Gue mengangguk aja.

"Iya, Mi." Gue menyendok lagi makanan di piring. Oke. Tinggal dua sendokan lagi, gue selesai. Gue harus cepetan ke kamar dan menguncinya. Gue mau berangkat tidur dengan tenang.

Sip. Gue bangkit dari kursi dan buruan ke kamar. Gue lihat makanan punya Mas Taeyong dan Mas Yuta masih banyak. Yes, enggak salah gue ambil makan dikit tadi. Langkah seribu pun dimulai. Asyik, akhirnya gue bisa kabur.

"Fay! Minum dulu! Entar kamu keselek di dalam kamar, baru rasain." Itu Mas Yuta. Modus banget sok perhatian. Niatnya pasti mau cegah gue, tapi gue punya jawaban, tentunya.

"Enggak, terima kasih. Aku enggak haus."

"Minum, Fay. Ini ada jus stroberi di kulkas," kata Mas Taeyong. Gue menghentikan langkah yang hampir setengah jalan ke kamar gue. "Mas Taeyong tadi beli pas pulang. Kamu enggak mau?" tanya cowok itu lagi untuk menawari.

Kalau mau, ya, mau. Tapi ... abis itu gue yang habis diinterogasi habis-habisan sama kakak gue. Duh, bimbang jadinya. Gue harus gimana?

"Aku minum, ya, Mbak?" Itu Sungchan.

Gue menelan ludah. Kesempatan banget, sih, buat kabur, tapi gue enggak enak sama Mas Taeyong. Tapi ... gue juga mau jus stroberi. Tapi ... gue enggak mau ditututi sama Mas Yuta. Soalnya ujungnya nanti gue dihakimi. Gue lagi males bicara. Apalagi kalau sampai dipaksa sama mas gue.

"Iya, minum aja. Gak papa. Kapan-kapan beliin lagi, ya, Mas." Gue sedikit berteriak biar terdengar sampai ruang makan. Gue meneruskan langkah lagi. Sekarang dengan cukup tenang dan sedikit senyuman di bibir. Aaaahh, lega tahu enggak, sih, bisa bebas kayak gini. Gue membuka pintu kamar dan menutupnya dengan sangat anggun. 

Tapi, gue merasa ada yang mengganjal pintu gue. "Mau ke mana lo, hah?"

Sial, gue ketututan Mas Yuta.

***

Gue sama Mas Yuta sama-sama ngos-ngosan. Gimana tidak, gue yang punya tekad kuat untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke kamar gue, melawan Mas Yuta yang punya kekuatan cowok asli. Setelah lebih dari tiga menit gue bertahan, akhirnya gue kalah juga dengan ancaman dari Mas Yuta yang bilang mau teriak kalau gue enggak biarin dia masuk.

Gue menatap Mas Yuta dengan tatapan tajam dan berkaca-kaca. Enggak, gue enggak mau nangis. Gue cuma lagi mengeluarkan kekesalan yang gue rasain aja. "Ngapain ikutan masuk ke sini, sih?" Gue mengentakkan kaki ke lantai.

Mas Yuta masih merunduk. Dia mengangkat kepalanya, baru menegakkan punggung. "Lo ngapain mau lari dari gue?" tanyanya sambil bersedekap.

"Mbuh!" Gue meninggalkan dia dan menuju ke kasur. Kesel banget sama mas rese dan enggak peka kayak dia ini. Orang gue maunya sendiri malah ditututi. Gue tuh lagi enggak mau diperhatiin. Ngapain juga, sih, ikutan masuk padahal punya kamar sendiri.

Gue menggulung tubuh pakai selimut. Enggak peduli sama Mas Yuta yang entah masih berdiri, duduk, jongkok atau kayang sekali pun, gue enggak peduli. Gue sebisa mungkin enggak akan memperlihatkan kalau sedang mengeluarkan air mata. Nanti dibilang gue cemen.

Sedetik kemudian, gue merasakan ada beban di badan gue. Itu terasa seperti tangan dan kaki Mas Yuta yang sedang nemplok. Dengan enaknya, dia mengusak-usak kepalanya ke badan gue. Gue diam aja. Malas.

"Gue numpang di sini, ya? Males banget keluar. Nanti gue ditodong sama Taeyong buat balikin duitnya dia yang gue pake futsal tadi." Mas Yuta semakin membuat gue sesak napas.

Gue bergerak untuk melepaskan pelukan mas gue yang semakin lama semakin kayak tali lepet. "Lepasin! Ampek!"

Dia nurut. Tumben.

"Haelmi lagi?" tanyanya. 

Gue dan dia sama-sama menghadap langit-langit. Gue mengeluarkan kepala dari buntelan selimut. Rasanya enggak bisa napas. Mau mati.

"Lo ngerasa enggak, sih, kalau selama ini lo sama dia kucing-kucingan doang?" tanya Mas Yuta lagi. Gue mendengarkan terlebih dahulu. Biasanya, kalau diawali dengan kiasan seperti ini, kakak gue bakalan berkhutbah panjang lebar. "Kejar-kejaran aja terus sampai salah satu dari kalian capek dan berhenti. Terus bakalan ngerasa kalau yang selama ini bisa nemenin lo bergerak, ya, kucing yang capek. Lalu yang satu sadar kalau enggak ada yang kejar, mulai cari perhatian dan kepancing terus kejar-kejaran lagi. Gitu-gitu doang sampai yang lain capek lagi, caper lagi, kejar lagi sampai dua-duanya capek."

Kepala gue diambil sama Mas Yuta dan diletakkan di lengannya. Dia mengusap-usap kepala gue dengan tangan itu. "Kalau capek, enggak usah ngoyo lari lagi. Enggak ada gunanya dan yang ada cuma lo capek dan capek. Tenaga lo habis. Belum nanti ngerasain sakit kaki. Biaya obatnya bakalan mahal. Apalagi kalau sampai patah."

Gue terdiam. Gue paham betul dengan apa yang dikatakan oleh Mas Yuta. Meskipun pakai bahasa yang agak jerimet, untungnya gue bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh Mas Yuta ini.

"Gue aja yang lihat capek banget. Belum lagi lo sama Joan yang sok banget mau jagain dia. Tanpa lo sadari, lo udah makan hati lo sendiri, adek gue tersayang." Mas Yuta mencium kening gue.

"Gue bodoh, ya?" tanya gue yang enggak usah dijawab sama dia aja, gue juga udah tahu jawabannya.

"Sedikit," jawabnya. Mungkin dia lagi mau menghibur gue.

Dengan hati yang kesenangan dibela, gue memeluk pinggang Mas Yuta dan menelusupkan wajah ke lengan dia.

"Gobloknya yang banyak." Dia tertawa keras saat gue mencubit pinggangnya. Tangan gue ditahan, lalu dia meletakkan tangan gue di pundaknya. Kami malah berpelukan erat.

"Lo nyebelin banget, Yut."

"Heh! Yat Yut Yat Yut! Gue kakak lo, ya!" Kepala gue dijitak. Gue malah ketawa.

"Hallah. Lo dipanggil mantan Yat Yut Yat Yut juga enggak papa tuh."

"Lo adik gue, anjir."

Gue malah merapatkan pelukan ke Mas Yuta. Kami terdiam beberapa menit. Enggak ada yang berbicara sama sekali.

"Lo sumuk enggak, sih?" tanya gue yang mulai merasa ada yang salah di antara kami.

"Banget."

Serempak kami menoleh. AC kamar gue belum dinyalain. Pantesan.

"Lo sana." Mas Yuta mendorong kepala gue buat bangkit.

"Ogah. Mas aja." Gue mendorong badan dia.

"Berangkat, enggak?" ancam Mas Yuta sambil memasang wajah garangnya. Gue takut? Enggak, lah. Gue tahu dia lagi main-main doang.

Gue menjulurkan lidah dan mendorong badan keceng dia pakai kaki hingga ke pinggiran kasur.

"Fay! Lo mau gue piting sampai mampus?"

Gue melet lagi. Kaki gue ditarik sama Mas Yuta. Kebablasan, badan gue malah menindih Mas Yuta di lantai. Kami tertawa. Emang dasar random banget.

"Astaga. Adik gue udah gede ternyata. Udah tahu tentang cowok sama perasaan." Badan gue diraih sama Mas Yuta dan dipeluk dari belakang. "Gue enggak bisa bayangin Mark yang kalem gitu punya cewek kayak lo, Fay."

Bentar. Bentar. Ini ... kenapa dia malah nyebut Kak Mark?

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang