4.5 Pulang

5 0 0
                                    

"Mau pulang sekarang?" tanya mama Jeno dengan sangat lembut.

Gue yang agak syok dengan perubahan sikap beliau pun hanya bisa memberikan senyum Click, sekalian review pasta gigi yang gue pakai. Dengan agak membungkukkan badan, gue menyodorkan tangan untuk disambut biar bisa salim.

"Maaf, ngerepotin, ya, Tante. Aku mau pamit dulu sama Haelmi." Sungkan banget, asli. Untung mama Jeno masih mau memberi tangannya untuk gue cium.

"Enggak ngerepotin. Kamu malah udah bantu Tante berberes habis belanja."

Yakinlah, gue juga kaget saat tangan beliau mengelus kepala gue. Tersenyum canggung adalah andalan gue untuk meredakan suasana yang menurut gue kaku banget ini. "Bukan apa-apa, Tante. Cuma bantu gitu doang."

Mama Jeno tersenyum lebar dan memeluk gue. Hampir aja gue teriak. Gue hanya merealisasikan kekagetan gue ini dengan membelalakkan mata dan disambut dengan kerutan dahi. Gue berhadapan dengan Somi. Kita sama-sama melempar tanda tanya.

"Jangan kapok main ke sini, ya, Fay. Baru kali ini Jeno bawa temen cewek dua cakep-cakep kayak gini." Pelukan mama Jeno terlepas dan beliau mengelus lengan gue.

Satu kedipan. Dua kedipan. Tiga kedipan. Gue baru bisa mengangguk setelah Somi mengangkat tangannya dan berisyarat seakan mau mukul gue. "Oh, hehehe. Gitu, ya, Tan. Hmmm, iya. Kapan-kapan aku sama Somi bakalan ke sini lagi."

"Jeno itu, Tan, yang enggak bolehin kita main ke rumahnya. Katanya dia, mamanya galak." Semua mata menuju ke arah Somi. Kecuali mamanya Jeno yang sudah melototin anak bungsunya.

"Gitu, ya, kamu ternyata, Jen." Tangan mama Jeno sudah siap untuk memberikan pelajaran terbaik untuk anaknya. Jeno langsung bergeser ke belakang badan kakaknya, berlindung.

"Mama kok percaya aja sama omongannya Somi. Dia itu tukang adu domba." Jeno mengelak.

"Katanya dia juga Tante itu jelek. Dia enggak pede." Haechan ikutan mengompori. Dengan segera, gue mencubit pinggang bocah itu. Dia mengaduh, merintih sok kesakitan. Padahal juga enggak sakit, yakin.

"Potong aja jatah bulanannya Jeno, Ma." Kak Mark menambahi. Ternyata dia bisa bercanda juga.

"Kak!" Suara nyaring nan mantap ala tabokan tangan berotot Jeno memenuhi ruangan. Gue yakin kalau telapak tangannya Jeno ngecap di punggung kakaknya. "Lo jangan ikutan, kenapa?" sebalnya.

Gue dan yang lain hanya tertawa. Puas sekali lihat wajah melas Jeno yang jarang tampak itu. Soalnya, anak itu biasanya songong. Mekanya, momen kayak gini harus dimeriahkan.

"Urusan kita belum selesai, ya, Jeno." Mama Jeno menghadap ke gue dan Haechan lagi. "Kalian berdua hati-hati di jalan. Udah malem kayak gini. Haelmi jaga Fay yang baik. Awas kalau sampai lecet."

Haechan hanya memberikan isyarat 'oke' dengan jemarinya.

"Aku boleh ikutan nganter enggak?" tanya Kak Mark.

"Ih, buat apa. Gue juga bisa kali nganterin Fay doang ke rumah. Mending lo anterin Somi, noh. Nganggur dia." Haechan memajukan bibir bawahnya.

"Gue tampol lu, ya, bilang gue nganggur. Kayak jemuran belum diseterika aja." Somi enggak terima dan sudah melangkah untuk mendaratkan bogeman tangannya.

"Dih, enggak ngaku. Lo jomlo aja sok." Jeno enggak mau diam saja. Meledek Somi adalah bagian dari kehidupannya.

"Eh. Eh. Anak cewek galak amat." Mama Jeno melerai. "Kalian ini ada aja, sih. Nanti kalau enggak bareng lagi kangen."

Gue saling lirik dengan Haechan. Lalu kami tertawa melihat wajah Somi dan Jeno yang malah memerah. Ada bahan buat mengejek mereka lagi, nih, kalau sewaktu-waktu jiwa Tom and Jerry mereka kumat.

Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang