6.1 Ruang Pengadilan

5 0 0
                                    

Ummi sudah pulang dari mengajar. Gue langsung masuk ke kamar dan enggak menghampiri beliau yang sedang berkutat di dapur dengan plastik dan bungkusan. Enggak tertarik sama sekali.

Gue merebahkan diri ke kasur. Malas sekali rasanya mau ke kamar mandi. Gue lebih tertarik dengan langit-langit kamar gue yang polos dan enggak ada hiasannya sama sekali kecuali satu lampu kamar. Oke, itu memang bukan hiasan. Tapi, memang bener gue pernah mau menempelkan hiasan lampu-lampu bintang yang bisa menyala di kegelapan gitu. Biar apa? Biar estetik dan gue juga bisa punya temen kalau lagi sepi kayak gini. 

Huufft, ternyata gue enggak mahir mengalihkan pembicaraan, ya? Hehehe. Gue emang lagi segamang itu dengan perasaan gue sendiri. Entah kenapa yang dikatakan sama Haechan tadi malah berputar terus di kepala gue. 

Selama ini, yang mengerti gue dan keluarga gue, cuma Haechan. Yang tahu kalau gue enggak bisa makan sawi juga Haechan. Yang mengerti kalau gue suka ini dan itu juga Haechan. Dia juga yang paham gimana gue. Dia yang jagaain gue dari kecil meskipun bola-balik kami dapet semprotan dari Ayah, Ummi, dan kedua mas gue karena mainan yang aneh-aneh. Tapi, kalian pasti tahu, kan, kalau yang kayak gitu itu malah yang seru.

Lalu, dia dengan gampangnya dia bilang mau melepaskan begitu aja? 

Oke, ini gue enggak lagi bahas Kak Mark yang bisa tanggung jawab dan jaga gue atau enggak, tapi ... ini masalahnya si Haechan beneran mau ikhlas gitu aja sahabatnya punya pacar? Orang yang punya pacar itu biasanya pasti ada batasan-batasan tersendiri gitu, kan, ya, dari pacarnya? Yang enggak boleh gini, lah. Enggak boleh gitu, lah. Emang Haechan enggak mikir gitu dia bisa aja kehilangan eksistensi gue sebagai sahabat dia kalau gue beneran punya pacar?

Aiisshh, semakin gue pikir, semakin gue yakin aja kalau kehidupan gue enggak bakalan seseru itu kalau sama yang selain Haechan. Oke, katakan aja Kak Mark. Misalnya kalau dia jadi pacar gue ... pasti enggak ada namanya masukin sambel lima sendok penuh di bawah mangkok bakso. Enggak ada lagi perang cari udang di capjay Pak Dowoon. Enggak ada lagi pulang sekolah sambil hujanan dan ninggal tas di loker sekolah terus besoknya bawa dua tas pulang. 

Gue mendengkus malas. Akan seenggak seru itukah hidup gue? Membayangkannya aja bikin gue capek sendiri. Iya, capek. Capek banget karena gue sendiri ngapain malah tenggelam sama pikiran gue yang enggak jelas ini. 

Semoga Jeno enggak bilang ke Kak Mark apa-apa tentang percakapan kami tadi. Bisa habis gue. Antara emang Kak Mark yang bakalan beneran maju karena suka sama gue dan gue bakalan bingung jawab gimana sama Kak Mark yang sebenarnya care sama siapa aja dan gue bakalan malu sendiri karena malah terkesan kegeeran.

Haish, pusing juga ternyata. Astaga ....

"Mbak! Aku masuk, ya." Itu suara Chenle. Cepet banget dia pulang dari eskul. Biasanya aja sampai sore. Emang ini lagi jam berapa?

Gue membolakan mata. Loh, udah jam setengah empat. "Masuk aja." Gue malah enggak beranjak. Kasur yang menarik gue buat enggak ganti baju.

Chenle tersenyum lebar sambil menutup kembali pintu kamar gue. "Tahu enggak kenapa aku pulang cepet?" Dia mendekat dan merebahkan tubuhnya di sebelah gue.

"Mana aku tahu. Kamu aja belum bilang apa-apa." 

"Sewot amat, Buk!"

Gue cuma diem.

"Aku diangkat jadi pemain inti tim basket sekolah buat pertandingan sama sekolah lain dua minggu ke depan." Gue bisa mendengar kekehan bangga dari adik gue.

"Congrats. Akhirnya lo keturutan juga buat main." Gue berkata dengan datar dan mencium pipi adik gue itu.

Chenle terima aja apa yang gue lakuin. Tapi habis itu, dia menoleh ke gue dengan sedikit menurunkan rahangnya, mulutnya tetap tertutup tapi bawah dagunya agak mengembung. "Mbak kenapa? Patah hati?"

"Asal aja kalau ngomong. Mana ada patah hati deket-deket sini?"

"Terus itu mukanya apaan? Kayak orang susah berak dua minggu." Dia tertawa saat gue melemparkan tatapan tajam ke arah dia.

"Enggak usah ngeledek." Gue yang dari tadi kesel, jadi enggak bisa mengontrol emosi. Air mata gue jatuh begitu saja. Chenle kelihatan gelagapan.

"Mbak. Mbak. Mbak kenapa, sih?" Dia berusaha melihat wajah gue yang gue telungkupkan ke kasur.

Gue enggak menjawab. Engap banget dada gue rasanya. Gue bisa merasakan Chenle yang perlahan peluk gue. 

"Enggak usah bilang apa-apa ke aku juga enggak papa. Puasin ae nangisnya sampai enggak kepikiran sama apa yang sekarang bikin Mbak nangis. Aku di sini dulu, ya. Aku mau nemenin Mbak nangis."

Akhirnya, gue dan Chenle pun tertidur sampai adzan maghrib berkumandang.

***

Bahu gue digoyang sedikit keras. Itu tipe Mas Yuta. Maka dengan males juga, gue menoleh dan sedikit membuka mata. "Kenapa?"

"Lo ngapain sama Chenle tidur pelukan gitu? Chenle ngambek?" tanya Mas Yuta yang duduk di sisi badan gue satunya.

Gue melihat Chenle yang sekarang ada di pelukan gue. Gue udah kayak orang yang lagi kelonin adik kecil yang susah tidur. Gue pun tersenyum. "Biasa. Dia."

Mas Yuta mengangguk. Wokey, dia enggak curiga. Sorry, ya, Le, gue harus korbanin lo. Kalau enggak, kamar ini bisa jadi ruang persidangan nanti malam.

"Ada apa, Mas?" tanya gue dengan suara serak. Gue pun melegakan tenggorokan gue sambil berdehem, membuat Chenle malah terbangun.

"Ngapin Mas Yuta di sini? Enggak ngapel Mbak Dita?" tanya bocah itu dengan sangat ringan.

Mas Yuta mau mengepret Chenle tapi gue langsung memeluk kepala adik gue. Kalau enggak gitu, Mas Yuta bakalan beneran pukul si Chenle. "Tahu apa lo tentang ngapel? Noh, gue udah beli nasi goreng Solaris pake telur creepy."

"Crispy kali, Mas. Jangan ngawur." Chenle malah semakin erat peluk gue. Nih, anak dibela malah gunggungan. Ajaran Haechan sungguhan anak ini.

"Apalah itu. Enggak peduli namanya. Kalian berdua mau enggak? Cepetan ganti baju dan keluar dah. Lo enggak mau diobrak sama si Taeyong, kan?" 

Gue mengerutkan hidung dan bibir. Mas Yuta selalu begitu kalau mau dituruti omongannya. Senjatanya Mas Taeyong. Dia suka banget takut-takuti kami dengan itu. Tanpa sengaja gue melihat Mas Yuta yang menatap gue. Gue menaikkan alis dan dia malah mengalihkan pandangan. Dia mengusak kepala gue sebelum berdiri.

"Cepetan, ya. Kalian enggak bakalan biarin gue sama Sungchan habisin itu semua, kan?" 

Gue tertegun. Dia menarik tangan Chenle buat bangkit. Dengan pasrah juga adik gue itu menuruti ajakan masnya. Bahunya direngkuh dan Mas Yuta berbisik sesuatu sebelum keluar dari kamar gue. Melihat gelagat Chenle yang mencuri-curi pandang ke gue, sepertinya gue bisa menebak apa yang dibisikkan. 

Gue mendesah pasrah. Oke, kayaknya kamar gue bakalan jadi ruang pengadilan nanti malam.


Bestie Ever || HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang