• Sepupu jauh

3.2K 319 164
                                    

5k+ word, special my birthday.
Maaf kalau kalian lama nunggu yaa, aku lagi di fase males ngetik 👉🏻👈🏻

Maaf kalau kalian lama nunggu yaa, aku lagi di fase males ngetik 👉🏻👈🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"MARVIN!"

Anak kembar itu berteriak begitu Vero meninju rahang Marvin sampai oleng. Hanya oleng, tidak sampai jatuh karena ia punya keseimbangan yang bagus.

Arnesh tidak tahu apa yang mereka bahas sebelumnya karena mereka berbisik, sebelum akhirnya Vero memulai tinjunya lebih dulu membuat anak buahnya ikut menyerang Marvin.

"Lo tunggu sini ya, Sam. Jangan ikut ngelawan! Gue bakalan berusaha lindungin lo juga."

Sepeninggal Arnesh, remaja itu mengangkat tangan kanannya reflek memegangi dada. Sebenarnya ia merasakan sesak sejak tadi. Tepatnya saat tubuhnya terlempar dan membentur tembok dengan kuat. Ia tidak mengatakan pada saudara-saudaranya kalau ia terkena serangan di bagian dada, itulah yang membuat Samudra tumbang dan lengah. 

"B-Bunda..."

Rasa sesaknya semakin menjadi, ia memilih untuk menjatuhkan tubuhnya dan mencari inhaler di tas. Ia sudah tidak peduli lagi dengan sekitar, bahkan samar-samar ia mendengar Arnesh memanggilnya.

"Uhuk."

Ia terbatuk sekali setelah menyemprotkan inhaler untuk yang kedua kali. Rasa sesak yang menghujam dada sudah membaik, namun masih meninggalkan rasa sakit dan nyeri yang berpusat di bagian dada tengahnya.

Apakah itu karena serangan keras bertubi-tubi? Samudra tidak tahu.

Mata sayunya tak lepas dari kedua saudaranya yang masih berusaha melindungi diri dari serangan. Mereka lebih brutal dari yang tadi, tentunya Samudra tidak bisa diam di sini terus sebelum salah satu dari mereka berhasil melukai Marvin dan Arnesh. Ia meletakkan inhaler itu di tas nya kembali, baru saja ingin maju tapi pintu utama restoran itu terbuka dengan keras dan masuklah beberapa pria yang memakai seragam keamanan.

ᴛʰᵉ ᴀᶜʰⁱˡˡᵉˢ

Beginilah rutinitas Basta setiap harinya, duduk di kursi kebanggaan dan berkutat dengan dokumen-dokumen penting yang harus di tandatangani. Sesekali matanya terfokus pada layar komputer di hadapannya tuk mengecek apakah ada laporan yang masuk atau tidak.

Tak berselang lama, ponsel yang tergeletak di dekat figura keempat anaknya bergetar. Ada telepon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu ia pun mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, selamat sore."

"...."

"Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"

"..."

"APA? Anak-anak saya di kantor polisi?! Baik saya akan segera ke sana. Terima kasih atas informasinya."

Apa yang diperbuat oleh mereka sampai berurusan dengan polisi begini? Batin Ayah Basta tak mengerti.

Ia menyandarkan tubuhnya di punggung kursi lantas memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. 30 menit lagi ia akan rapat.

The Achilles •Local VerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang