18. Sarasehan Jurusan

1.8K 214 55
                                    

Hello my beloved readers. Sebenernya ini masih chapter penting. Kalian bakal tahu sendiri kenapa termasuk penting. Jadi, jangan lupa vote dan comment. Aku aja rajin update, masa kalian gak rajin vote+comment. Please dong hargai perjuanganku ngetik dengan vote+comment. Hehe





Kasih ❤️ dulu buat Kaivan dan Jarel.

Kasih ❤️ dulu buat Kaivan dan Jarel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy reading



💖💖💖







(Kaivan POV)

Gue keceplosan, anjir. Sefrontal itu gue bilang sayang sama Rania. Mulut gue refleks aja tadi. Ini sih terlalu cepet banget kalau gue bilang sayang ke dia. Ya, walaupun gue udah sering ngode dia dengan sepikan-sepikan dan perhatian, tapi tetap ini terlalu dadakan. Gue cuman nggak mau dia kena serangan jantung dadakan. Gue tersenyum kikuk di saat Rania masih memandang gue dengan tatapan bingung.

"Gue sayang sama temen-temen HMJ. Jadi, gue nggak mau kalian banyak pikiran karena suatu masalah. Kan itu bisa mengganggu kinerja kita di HMJ. Makanya lo dan yang lain harus bisa meminimalisir stress," ujar gue yang 100% ngeles doang.

Anjir, alibi macam apaan ini. Semoga Rania nggak makin curiga dan percaya aja sama yang gue omongin barusan.

"Kai, gue melo banget ya jadi orang. Padahal harusnya gue lebih kuat."

"Iya, harusnya lo berani ngelawan si Feyna itu."

"Dulu gue berani ngelawan dia waktu masih kecil, Kai. Tapi, semenjak kejadian itu, gue kayak nggak ada nyali lagi ngelawan dia."

Gue mengernyitkan dahi. "Kejadian apa?"

"Dulu gue pernah jengkel sama Feyna gara-gara muak dikatain anak pelakor, terus gue nggak sengaja dorong dia dari ayunan waktu dia kelas 5 SD. Feyna jatuh terpelanting, tubuhnya menghantam paving yang keras. Terus saraf tulang belakangnya cedera dan itu mengakibatkan dia lumpuh. Dia sampe dioperasi dua kali dan fisioterapi berkali-kali biar bisa jalan lagi. Dan dia sempat berhenti sekolah setahun gara-gara kecerobohan gue. Harusnya dia sekolahnya satu tahun di atas gue." Gue bisa melihat Rania menarik napas berat saat akan melanjutkan ceritanya.

"Pasti itu berat banget buat lo ya, Ran."

Rania mengangguk."Iya. Semenjak itu gue nggak berani ngelawan dia. Papa juga waktu itu marah banget ke gue. Dan akhirnya gue semakin dikucilkan saat tinggal di rumah Papa. Waktu kelas 11 SMA gue akhirnya memutuskan untuk pergi dari rumah Papa dan tinggal sama Mama."

Gue jadi tahu masa lalu Rania yang pahit. Ternyata, di dunia ini nggak cuman gue yang merasa nggak beruntung. Gue juga sama kayak Rania. Iya, sama-sama punya keluarga yang latar belakangnya nggak jelas meski beda cerita. Gue juga pernah protes pada semesta yang rasanya nggak adil. Namun, gue rasa nggak ada gunanya gue menyalahkan keadaan, yang ada gue harus tetap berjalan maju dan pantang menoleh ke belakang. Lagi pula selama ini gue udah bertekad hidup mandiri tanpa bayang-bayang Papa. Gue sadar diri nggak pantes merepotkan Papa lama-lama. Secepatnya gue harus mengembalikan semua uang Papa yang udah gue pakai untuk kuliah dan biaya hidup sehari-hari.

Pacar Ketua HimpunanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang