4. Setelah Jogja Menyapa

1.1K 77 1
                                    

Tiga hari di Jogja ternyata cukup menguras tenaga. Setiap harinya kembali membuka luka lama. Kebencian yang sempat terpendam kini kembali membara. Tak ku sangka, di Jogja, setelah sebelas tahun lamanya.

Setelah Jogja menyapa, kini saatnya Jakarta bercerita.

Celana bahan panjang warna marun dengan blazer senada sudah melekat di tubuh ramping ku, tak lupa high hills hitam 5cm dan rambut panjang bergelombang yang ku ikat ekor kuda, menyempurnakan tampilan ku pagi ini. Setelah menempuh perjalanan sekitar delapan jam dengan kereta api dari Jogja ke Jakarta Timur, rumahku, pagi ini saatnya aku kembali ke kehidupan tenang ku seperti saat sebelum ke Jogja. Bekerja dan mencari uang untuk bersenang-senang membahagiakan diriku sendiri, karena aku tidak akan pernah menggantungkannya kepada orang lain.

Sudah satu tahun aku bekerja di sebuah perusahaan Startup yang bergerak di bidang makanan, PT. Erlangga Sejahtera. Perusahaan rintisan tapi sudah terbilang sukses dan bukan kaleng-kaleng. Beruntungnya aku karena bisa bekerja di sini sebagai data entri.

Setiap hari aku berkawan dengan Microsoft Excel dan bersahabat dengan angka-angka. Ratusan baris dan kolom, selalu menjadi makananku sehari-hari. Mungkin ini juga menjadi alasanku kenapa tubuhku tidak pernah benar-benar berisi, karena setiap hari otakku selalu panas hingga mampu membakar lemak-lemak jahat di tubuhku. Meski bukan pekerjaan yang mudah, karena bekerja sebagai data entri atau pekerjaan apapun yang berhubungan dengan pengolahan data, wajib membutuhkan ketelitian ekstra, salah satu saja kita keliru memasukkan data, maka tamatlah riwayatmu, tapi tetap saja aku menyukai pekerjaanku.

☀️☀️☀️

Aku meregangkan tubuhku, mengangkat ke dua tangan tinggi-tinggi, melepaskan semua penat setelah seharian duduk di depan laptop tak banyak bergerak. Hampir dua belas jam aku hanya berkutat dengan angka-angka, mengolah data dan memasukkannya ke database perusahaan. Kemarin ada kesalahan input makanya sekarang aku harus merevisi total. 

Setelah semuanya selesai aku bergegas ke parkiran, pulang dan merebahkan tubuhku. Sekarang aku hanya mau tidur, mataku lelah. Sayangnya, kasur masih sangat jauh dari jangkauanku karena aku harus ke Rumah Sakit menemui Mas Lingga. Dia selalu saja berhasil menghancurkan rencana ku. Padahal ku kira di Jakarta aku aman darinya.

"Iya, Ma, ini Mala masih kejebak macet di jalan, mungkin setengah jam lagi baru sampai Rumah Sakit," kataku sedikit berteriak karena bunyi bising berbagai kendaraan di luar sana.

Sejam yang lalu, Mama Lisa menelpon ku sambil menangis, tepat saat aku hendak masuk mobil, katanya Mas Lingga kecelakaan dan di bawa ke Rumah Sakit. Entah kecelakaan apa yang menimpanya, tapi, saat kejadian, Mas Lingga tengah melaksanakan tugas pengamanan demo buruh di depan Istana Negara.

Aku langsung tancap gas begitu Mama Lisa mengabari ku. Kebetulan, Mama, Papa dan Anggit sedang di rumah Yangkung sejak dua hari yang lalu, jadi hanya aku yang bisa dimintai tolong Mama Lisa. Sebenarnya aku yakin Mas Lingga sudah di rawat dengan baik, secara dia kan anggota Polri, tapi mau bagaimanapun namanya orang tua, pasti khawatir begitu mendengar anaknya kecelakaan.

Gegas aku berlari ke UGD begitu sampai di Rumah Sakit. Tak peduli penampilanku yang sudah kucal bin kumal akibat lembur seharian. Jantungku berdegup sangat kencang dan napasku ngos-ngosan karena berlari dari parkiran ke UGD. Biarpun aku membenci Mas Lingga, tapi tetap saja ada kekhawatiran yang ku rasa, aku sedikit takut jika dia mendapat luka parah.

UGD memang selalu menjadi tempat paling ramai di Rumah Sakit, aku sampai kesusahan mencari tempat Mas Lingga dirawat. Di sini, silih berganti orang-orang datang dengan satu tujuan, mendapat perawatan dan juga kesembuhan. Wajah cemas, lelah, sedih dan khawatir tampak dari semua penghuninya, namun tak ada yang menyerah. Pun demikian dengan para dokter dan tenaga medis lainnya yang dengan sepenuh hati melayani mereka tanpa kenal lelah dan menyerah. Maka aku sangat menghargai para tenaga medis, karena profesi mereka bukan sekedar tentang uang, tapi tentang kemanusiaan dengan nyawa sebagai taruhan.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang