3. Mas Lingga dan Permintaan Mama Lisa

1.4K 85 0
                                    

"Masuk, enggak, masuk, enggak."

Hampir lima menit aku hanya mondar mandir di depan rumah dengan tembok bata setinggi dua meter yang membatasinya dengan jalan. Di dalam sana sudah ada yang menungguku, yang dari semalam terus saja memaksaku untuk kemari menemuinya.

Aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

Bismillah, batinku sambil menarik engsel pintu lalu mendorongnya pelan.

"Assalamualaikum," salam ku pelan.

"Waalaikumsalam." Aku spontan menengok ke sumber suara.

"Aaaaaaaaa!"

Astaga, pagi-pagi mataku sudah ternodai.

Aku berbalik sambil memejamkan mata.  Kulihat seorang yang paling tidak ingin aku temui itu, sedang melakukan pull up pada tiang besi di ujung halaman, sejajar dengan tempatku berdiri, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana olahraga pendek di atas lutut yang memperlihatkan semua otot-otot di tubuhnya yang terpahat sempurna.

Benar, dia adalah mas Lingga, Lingga Manggala Madaharsa, lengkapnya. Anak pertama dari Mama Lisa dan Papa Lukman. Kakak dari Yoga Manggala Madaharsa. Laki-laki yang paling aku benci. Kalau bukan permintaan Mama Lisa, aku tidak akan pernah mau untuk datang ke rumah ini.

Kenapa aku bisa sangat membenci Mas Lingga? Tenang, nanti perlahan kalian akan tahu ceritanya.

"Ada apa? Kenapa kamu berteriak?" Mas Lingga menghampiriku, ku tahu dari suara langkah kakinya yang berlari mendekatiku.

"Kenapa nggak pakai baju?!" bentakku, masih memejamkan mata, aku tidak berani membukanya. Lebih tepatnya aku malu, padahal dia yang tidak pakai baju.

"Oh....," jawabnya santai.

"Oh?"

"Kenapa emangnya? Bukannya dulu kamu juga sering lihat aku nggak pakai baju? Bahkan waktu kecil, kita sering mandi bareng, tapi nggak papa, tuh. Jadi kenapa sekarang itu jadi masalah?" Ungkapnya dengan nada kelewat santai.

Wah, bener-bener nih orang, seketika darahku mendidih sampai ke otak.

Aku membuka mata dan melotot padanya. "ITU DULU! Dulu kita masih kecil, tapi sekarang berbeda. Kita bukan anak kecil lagi!"

Mas Lingga mencondongkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya di depan wajahku. Dia mengikis jarak hingga tersisa beberapa senti saja. "Lalu?" Tanyanya datar dengan tatapan tajam.

Aku menatapnya menantang sambil mengepalkan kedua tangan di samping badanku, menahan emosi yang sudah diubun-ubun. "Ternyata kamu nggak berubah, selalu saja seenaknya sendiri!" pekik ku.  Aku mendorong kuat tubuh berototnya, lalu berlalu meninggalkannya.

Kenapa coba aku harus bertemu lagi dengan mas Lingga? Laki-laki yang dengan seenaknya mengucapkan janji lalu mengingkarinya sendiri.

"MALA!" Teriak Mama Lisa, mamanya Mas Lingga, yang sudah kuanggap seperti mamaku sendiri. Meski aku sangat membenci anaknya, bukan berarti aku juga membenci ibunya. Justru aku sangat menyayanginya.

Tadi malam, begitu tahu aku sedang di Jogja. Mama Lisa langsung menelpon Yangkung dan memaksaku untuk datang ke rumah ini.

Mama Lisa dan mamaku adalah sepasang sahabat yang tumbuh dan besar bersama di lingkungan yang sama. Itulah kenapa aku sangat dekat dengannya dan juga keluarganya. Aku sudah pernah bercerita, 'kan? Kalau dari kecil aku hanya bermain dengan Mas Pandu, Anggit adikku, Rangga adiknya Mas Pandu dan dua orang anak lelakinya Mama Lisa, Mas Lingga dan adiknya, Yoga. Dulu rasanya sangat membahagiakan dan rasanya kami tidak akan pernah terpisahkan, tapi semua itu berubah saat Mama Lisa dan keluarganya harus pindah ke Semarang karena pendidikan Mas Lingga dan juga bertepatan dengan pemindahan tugas Papa Lukman yang merupakan seorang Jendral polisi. Sejak saat itu, bibit-bibit kebencianku terhadap Mas Lingga mulai tumbuh dan akhirnya tak terkendali.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang