24. Hari Bersamanya

828 51 2
                                    

"Dek, coba ke sini sebentar!" panggil Mas Lingga dari teras samping.

Sudah empat belas hari berlalu setelah makan malam di rumah Yangkung. Sejak saat itu hubunganku dan mas Lingga mulai menghangat dan menunjukkan kemajuan. Perlahan kami mulai menjalankan kehidupan laiknya orang berumah tangga pada umumnya.

Setiap hari aku mulai terbiasa bangun pagi, sebelum si Jalu berkokok ria. Mendirikan kewajiban dua rokaat, sementara mas Lingga jamaah di masjid asrama. Lantas mencuci pakaian sembari menunggu Pakde sayur datang. Oh, iya, sekarang aku tidak hanya mencuci pakaianku saja, tapi pakaian mas Lingga juga. Pak suami pun tak tinggal diam hanya ongkang-ongkang kaki saja, tapi dia selalu membantuku beberes rumah. Menyapu seluruh rumah termasuk halaman.

Pernah aku bertanya apa dia tak malu pagi-pagi pegang sapu, bukan seperti suami-suami pada umumnya dimana setiap pagi duduk manis membaca koran di teras sambil ngopi menunggu sarapan jadi. Lalu dia menjawab dengan santainya, katanya untuk apa malu, menyapu bukan sesuatu hal yang hina sampai membuatnya malu. Hal itu sudah biasa dia lakukan sejak pendidikan dulu jadi gampil lah kalau cuma nyapu doang. Dia justru senang bisa ikut membantuku, karena aku bukan pembantunya yang harus mengurus semua pekerjaan rumah sendirian. Aku adalah istrinya dan dia adalah suamiku, kita akan membangun rumah tangga ini bersama. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Tapi seimbang berjalan bersama dan saling satu sama lain.

Kata-katanya itu membuatku tersadar dan bertekat, meski tak mudah aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuknya.

Seperti sekarang ini, aku tengah menyiram sayuran dan bebungaan yang ku tanam di halaman samping rumah sementara mas Lingga sedang berolahraga selepas menyapu. Bukankah kami sudah seperti pasangan yang sangat harmonis? Biasanya jam segini aku tengah memasak sarapan untuk kami. Hanya saja karena hari ini akhir pekan dan mas Lingga libur, kami sudah memutuskan untuk sarapan di rumah mama Lisa, jadi sedikit santai.

"Aku udah bilang, 'kan, nggak mau olahraga, Mas. Lagian kamu nggak lihat aku lagi nyiram tanaman? Besok aja, ya," rengek ku sedikit kesal, pasalnya dari tadi dia terus memaksaku ikut berolahraga bersamanya. Ya, entah kenapa semakin hari sifat manjaku semakin kelihatan saja. Mungkin karena kenyamanan bersama mas Lingga sudah kembali seutuhnya.

"Aku nggak minta kamu buat ikut olahraga. Sini sebentar, tolongin aku!" paksa nya tak mau kalah. Tak urung aku meletakkan selang air dan menghampirinya dengan wajah ditekuk.

"Kok gitu mukanya?" tanyanya begitu aku sampai dan berdiri tepat di hadapannya yang tengah berbaring di lantai teras sambil menekuk lutut.

"Minta tolong apa, sih, Mas? Tumben banget deh. Awas aja kalau aneh-aneh," tuduhku sewot sambil mengusap tangan basahku ke daster yang ku pakai.

Mas Lingga duduk dan menatapku lurus. "Jadi nggak mau, nih, tolongin aku?"

"Tolongin apa dulu, nih?" tanyaku yang membuatnya tersenyum puas. Dia lantas menepuk lantai di depannya.

"Sini!" perintahnya lembut.

"Aku mau sit-up tolong pegangin kakiku!" pintanya lantas kembali berbaring. Tumben sekali dia minta tolong begini, biasanya juga sendiri bisa.

"Biasanya juga bisa sendiri, 'kan?" protes ku meski tak urung menuruti permintaannya juga.

"Jadi mau nolongin atau enggak?" tegasnya.

Ku pegang pergelangan kaki mas Lingga hingga wajahku berada tepat di atas lututnya. "Iya iya ...." jawabku malas.

"Tolong hitungin sekalian, ya, Adek sayang!" pintanya makin ngelunjak. Dia tersenyum memandangku penuh arti. Sungguh membuatku benar-benar curiga padanya.

Aku berdecak dan mendengus panjang sambil memutar bola mata. " Hem," jawabku lesu. "Sa—." Cup! Kalimatku terpotong bibir kenyalnya singkat.

"Kamu apaan, sih, Mmp—." Lagi, dia mengecup bibirku yang ke dua kalinya.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang