16. Setitik Rasa Bernama Bahagia

834 54 0
                                    

Di saat kita bersama, di waktu kita tertawa
Menangis, merenung oleh cinta
Kau coba hapuskan rasa
Rasa di mana kau melayang jauh dari jiwaku juga mimpiku

Biarlah, biarlah hariku dan harimu
Terbelenggu satu oleh ucapan manis mu

Aku terpaku mendengar Mas Lingga bernyanyi. Secara refleks pandanganku mengarah padanya sebagai bentuk konfirmasi. Mulai dari bait pertama yang keluar dari mulutnya sampai satu bait penuh lirik yang di nyanyikannya.

Bukan, bukan karena suaranya yang merdu, melainkan lagu yang dia pilih untuk nyanyikan. Lagu yang sebelas tahun ini haram untuk gendang telingaku, dengan entengnya dia menyanyikannya. Bersamaku pula. Meski di kemas dengan musik ceria tapi mendengarnya masih membuat hatiku sakit.

Aku terus lekat memandangnya. Sambil memegang erat-erat mikrofon dengan kedua tanganku untuk menahan segala emosi yang mencuat kembali. Susah payah air mata kutahan agar tidak sampai menetes keluar.

Sangat sulit melepaskan diri dari mata elangnya. Membuat tatapan kami saling beradu. Sambil terus mengeluarkan nada-nada indah dengan suara baritonnya, dia tersenyum padaku. Matanya berbinar, walau aku melihatnya dengan mata berembun.

Tiba saatnya reff, Mas Lingga mengkodeku untuk bernyanyi. Sayangnya lidahku kelu. Mulutku bungkam tak bisa bersuara. Aku hanya bisa menunduk sambil memejamkan mata untuk menetralkan kembali raut wajah yang kacau. Menormalkan kembali napas di dadaku yang sesak. Menenangkan tubuhku yang bergetar. Aku kehilangan fokus. Buyar.

Lantas tangan hangat Mas Lingga menggenggam tanganku dan melanjutkan nyanyiannya sendiri. Mungkin pikirnya aku terlalu grogi hingga tak mampu bernyanyi.

Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina

Sekilas kau tampak layu
Jika kau rindukan gelak tawa yang warnai lembar jalan kita
Reguk dan teguklah mimpiku dan mimpimu
Terbelenggu satu oleh ucapan janjimu

Sambil menatap manik mataku yang masih sendu, dia bernyanyi menghayati setiap liriknya. Jempolnya tak henti bergerak di punggung tanganku. Seolah sedang menenangkan ku dan mengajakku kembali ke masa-masa dulu. Masa di mana semua tampak indah dan menyenangkan.

Pun demikian dengan bapak-bapak polisi di depanku ini. Mereka sangat menikmati alunan lagu yang dinyanyikan sang perwira polisi ini. Seperti sedang bernostalgia berjamaah pada masa remaja atau masa muda mereka. Terang saja Sheila on 7 adalah salah satu band yang tumbuh dan jaya pada masa mereka.

Iya, dulu aku tersiksa merindukan masa di mana kami tertawa bersama menyanyikan lagu ini. Lagu berjudul Kita milik Sheila on 7, favorit Mas Lingga yang menjadi favoritku juga. Favorit "Kita". Tapi itu sudah berakhir saat dia meninggalkanku sebelas tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku tidak menyukainya. Karena membuatku selalu mengingat manusia itu. Membuatku terbelenggu janji manisnya yang ternyata hanya tipu daya.

Apa yang sebenarnya kamu coba lakukan, Mas? Mengingatkanku dengan kenangan-kenangan itu, yang sudah susah payah kucoba lupakan? Begitukah? Sementara kamu sendiri dengan gampangnya melupakan semua janji-janjimu padaku. Licik. Baiklah jika itu mau mu.

Aku membuang napas panjang, menguatkan diri sendiri. Lantas membersamai Mas Lingga bernyanyi. Meski sudah tidak pernah mendengar lagu ini lagi, tapi aku masih sangat hapal liriknya seperti apa.

Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Pastikan kita seirama
Walau terikat rasa hina

Dan kau bisikkan kata cinta
Kau telah percikkan rasa sayang
Akankah kita seirama?
Saat terikat rasa hina

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang