8. Nomor Tak Dikenal

922 61 0
                                    

"Selamat pagi, Pak Tejo." sapaku sambil melepas helm abang ojol. Hari ini aku memilih naik ojol karena fisikku yang tidak memungkinkan untuk mengendarai kendaraan pribadi.

"Selamat pagi, Mbak Mala. Tumben baru sampai kantor jam segini?" tanya Pak Tejo—satpam kantorku.

Aku baru sampai kantor lima menit menjelang jam masuk. Tadi malam, setelah perdebatan alot satu lawan lima antara aku, Mama, Papa dan Yangkung, bahkan Budhe Siti dan Mas Pandu juga, akhirnya aku berhasil meyakinkan mereka dan kembali ke Jakarta tepat jam sebelas malam setelah acara lamaran selesai. Meninggalkan semua masalah serta pergolakan batin yang masih campur aduk di Jogja, terutama dengan Mas Lingga.

Baru tadi jam setengah tujuh aku sampai rumah dan langsung bersiap ke kantor. Untung saja masih ada lima menit sisa waktu sampai aku bisa tiba di ruangan ku di lantai tiga. Meski sistem kerja di kantorku bisa di bilang santai dan fleksibel tapi tetap kedisiplinan yang utama, datang dan pulang harus tepat waktu. Telat semenit saja resiko potong gaji.

Ting. Pintu lift terbuka.

"Mbak Malaaaa!" teriakan Rosa dan Galih menyambut ku lantang. Mereka berlari menjemput ku yang baru akan melangkah dari dalam lift.

Tangan Rosa begitu ringan memukul lenganku meski pelan. "Jahat banget lo, Mbak! Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba lamaran aja. Nggak bilang-bilang kita lagi," kata Rosa, si anak baru yang selalu manja padaku.

"Lo bener-bener ya, La! Udah nggak nganggep gue temen lagi, huh?" sambung Galih, teman seangkatanku masuk kerja di sini. Bisa di bilang dia yang paling akrab denganku di kantor ini. Dia menyilang kan tangan di dada dan merengut sambil melemparkan tatapan mengintimidasi.

Aku menghembuskan napas kasar lalu melengos melewati mereka. Ternyata penderitaan ku belum usai. Mereka masih kekeuh membuntuti ku dari belakang sampai aku duduk di mejaku. Tahu betul aku, mereka tidak akan berhenti sampai mendapat penjelasan pasti.

"Selamat, ya, La." Pak Budi—Kepala divisi ku datang sambil mengulurkan tangan hendak menyalamiku.

Aku mengulurkan tangan dan memberikan senyum kikuk. "Terimakasih, Pak."

Kulemparkan bokong ke kursi lalu mulai menyalakan laptop. "Gue aja nggak tahu kalau tadi malam gue bakal lamaran," jawabku pada akhirnya. Galih terus saja menempel padaku.

"Ngibul lo nggak kira-kira, La. Mana ada coba, mau lamaran kok enggak tahu. Emang calonnya jatoh dari kayangan?" debat Galih. Dia menyeret kursinya dan duduk di hadapanku.

"Ada. Gue buktinya, puas lo?" geram ku sambil menunjuk wajah sendiri. Lalu memijit kepala yang mulai pusing.

Astaga, niat balik ke Jakarta biar pikiran bisa tenang sedikit, eh, malah sama aja ternyata. Makin pusing aja nih kepala. Pagi-pagi juga, udah di todong penjelasan sama dua manusia super kepo ini.

"Tapi lo kelihatan bahagia banget di foto ini, Mbak. Mana calon lo ganteng banget lagi. Kenal di mana sih, Mbak? cowok modelan begini. Gue mau satu, dong!" komentar Rosa gagal fokus. Dia menunjukkan fotoku dan mas Lingga yang sedang berdiri berdua sambil memperlihatkan cincin yang telah melingkar di jari manis, tersenyum ke arah kamera. "Pantesan aja lo rapet banget nutupin calon lo itu, ganteng banget sih. Takut, 'kan lo diambil orang?" tambahnya.

Gara-gara si Anggit Ogeb yang sok-sokan bikin ig story tentang acara semalam, nih, jadi runyam semuanya. Padahal niatku merahasiakan masalah lamaran semalam, terutama pada orang kantor.

Tolong, ya! ini bukan sesuatu hal yang membahagiakan untukku, jadi kurasa tidak perlu di umbar. Setidaknya itulah niat awalku namun akhirnya gagal total gara-gara Anggit.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang