5. Mas Lingga dan Tingkahnya

1.2K 75 0
                                    

Matahari telah menyingsing begitu tinggi kala aku membuka mata. Silau sinarnya menembus dari balik tirai jendela. Rasanya baru saja aku terlelap, tapi hari sudah berganti dengan cepat.

Aku meregangkan tubuhku, menarik semua otot-otot yang terasa kaku. Sepertinya tidurku sama sekali tidak berkualitas, seluruh tubuhku sakit, mataku perih, tenggorokanku pun kering. Mungkin karena kemarin lembur seharian.

"Ahh ...." Aku membuang napas lega begitu air mengalir bablas dari tenggorokan menuju perut. Sangat menyegarkan.

"Anak perawan jam segini baru bangun!" Suara itu menyambut pagi ku, ah, tidak, atau ini sudah siang? apapun itu yang jelas aku baru bangun.

"Karepku!(terserahku)" jawabku singkat lalu memutar badan ke sumber suara.

Mas Lingga muncul dari dalam kamar mandi yang terletak di samping dapur, di belakangku berdiri. Dia terlihat segar dengan rambut basah yang sisa airnya masih menetes ke tubuh shirtless-nya. Aroma wangi sabun mandi begitu menguar dari tubuhnya yang hanya dibalut celana pendek milik Anggit.

"Bisa nggak, sih? Jangan seenaknya di rumah orang?" Mas Lingga tersenyum menghampiriku sambil mengusap-usap rambut basahnya. Senyum menyebalkan yang selalu dia tunjukkan.

"Kamu nggak capek apa, marah-marah terus?" katanya. Dia kemudian mengambil kaos yang disampir di bahu dan memakainya, lalu melewati ku dan duduk di kursi makan yang ada di depanku dengan santai. Perlahan dia membuka perban yang sudah basah karena mandi.

Aku hanya diam memperhatikan Mas Lingga dari belakang. Setiap gerak-geriknya tak luput dari pandanganku.

"Cuci muka dulu sana, La! Ilernya panjang, tuh," katanya sambil memunggungi ku.

"Enak aja! Aku nggak ileran, ya!" sewot ku.

Mas Lingga masih terus berkutat dengan perbannya yang enggan terlepas. Dia terlihat sangat kesusahan, tapi masih saja sanggup mengejekku. "Itu buktinya! di pipimu banyak bekas ilernya, panjang-panjang lagi, haha."

Aku menarik kursi jati di samping Mas Lingga dan mendudukinya kasar lalu mencondongkan tubuhku dan mendekatkan wajahku padanya. "Mana? Nih! tolong di buka lebar-lebar matanya dan perhatikan baik-baik! Tidak ada cerita, ya, seorang Mala ileran," sanggah ku sombong sedikit.

Tanpa aba-aba, Mas Lingga memajukan wajahnya tepat di hadapanku. Manik matanya sejajar dengan manik mataku. Satu senti lagi, maka hidung kami akan bersentuhan.

Refleks pupil ku membesar karena kaget, mataku terkunci sorot matanya yang tajam. Aku terpaku sekejap sebelum berhasil menyadarkan diri, lalu mengerjapkan mata beberapa kali.

"Ehem...," dehamanku pelan seraya membuang muka ke segala arah, entah kenapa aku gugup dan salah tingkah. Mungkin karena aku belum pernah di posisi sedekat ini dengan lelaki manapun. Ya, maklum saja, sampai detik ini, di usia yang sudah menginjak angka 23 tahun, aku belum pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki seperti perempuan normal pada umumnya.

Jangan salah, bukan berarti aku tidak laku, lho, ya. Bisa dibilang sudah banyak lelaki yang mencoba mendekatiku, tapi semua berakhir mundur alon-alon, kaya lagunya Guyon Waton. Haha

Semua gara-gara polisi menyebalkan yang sekarang ada di hadapanku ini, karenanya aku sulit percaya pada laki-laki.

Mas Lingga tersenyum lebar. Tangan kirinya menunjuk ujung bibirku sebelah kiri yang membuatku berjingkat kaget, lalu naik ke pipi dengan perlahan dan kemudian mencubitnya sambil menggoyang-goyangkan tangan. "Tapi tenang aja, biar ileran kamu tetep cantik, kok! Hahaha," candanya lalu terbahak.

Aku menepis tangan Mas Lingga. "Gila!" umpat ku. Aku bangkit dan beranjak meninggalkannya. Tidak lama, hanya mengambil gunting di laci dapur.

"Awas!" Aku menyingkirkan tangan kiri Mas Lingga yang masih berusaha melepas perban. Kutarik tangan yang di perban lalu menggunting bagian terluarnya agar mudah dilepas.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang