33. (Masih) tentang Mantan

600 54 3
                                    

"Gimana rasanya sekarang, Nduk?" tanya Mama Lisa seraya meletakkan gelas kosong bekas wedang jahe anget yang tadi dibawanya dari rumah ke nakas di samping ranjang.

"Sedikit lebih baik, Ma," jawabku lemah sambil menyenderkan tubuh ke kepala ranjang.

Hari masih pagi tapi aku sudah tidak punya tenaga sama sekali. Tubuh yang tidak seberapa besar ini rasanya sangat lemah. Terhitung sejak mas Lingga berangkat kerja sampai detik ini sudah lima kali aku memuntahkan semua isi lambungku.

Tiga hari di rawat di rumah sakit belum juga membuat kondisiku jauh lebih baik. Perutku masih belum juga mau menerima apapun yang berusaha aku masukkan. Semua seolah ditolaknya mentah-mentah.

"Sekarang giliran makan buahnya, Sayang. Mama udah kupasin mangga, apel sama pir-nya." Kali ini gantian mama Kemuning yang menyodorkan sepiring buah-buahan segar ke pangkuanku.

"Biarpun mual dan ndak napsu makan, kamu harus tetap memaksakan diri untuk mengisi perutmu sedikit demi sedikit. Jangan sampai perutmu ndak ada isi sama sekali. Kasihan nanti calon cucu Mama kalau sampai ndak ada asupan nutrisi gara-gara ibunya ndak mau makan," petuah mama Kemuning yang diangguki mama Lisa.

Aku mendengkus kesal pada diriku sendiri. "Bukannya Mala nggak mau makan, Ma, tapi perut Mala yang menolak semua makanan yang masuk."

Dua wanita paruh baya ini kini menjadi calon nenek yang begitu siaga. Mereka sangat sabar dan telaten merawat anak perempuannya yang lemah tak berdaya di ranjang pesakitan ini. Selama tiga hari ini mereka selalu setia menemaniku dari pagi sampai mas Lingga pulang kerja. Mereka semua bergantian menjagaku, tak membiarkanku untuk sendirian.

Sungguh beruntungnya aku memiliki keluarga yang begitu menyayangiku bukan?

Tak hanya mama Lisa dan mama Kemuning, bahkan uncle to be alias Yoga dan Anggit pun sekarang begitu perhatian padaku. Mereka kompak menelpon ku setiap hari hanya untuk mengingatkanku agar tak lupa memberi makan sang calon keponakan mereka. Dua bujang itu bahkan lebih heboh daripada mas Lingga maupun para orang tua yang sedari awal sudah ngebet minta cucu.

Bahkan hari ini pun mereka begitu kompak mengirim buket bunga mawar merah dan putih berukuran besar untukku. Entah siapa yang menelurkan ide itu, tapi cukup menghibur hatiku yang memang sedang menggalau biru. Meskipun tak urung tetap membuatku geleng-geleng kepala juga dengan isi pesan yang mereka sertakan.

Bagaimana tidak, si calon perwira polisi Yoga menuliskan pesan....

Untuk kakanda nimas terkasih, adinda kirimkan 20 tangkai mawar merah ini sebagai bentuk cinta dan ucapan terimakasih karena sudah memberi adinda calon keponakan. Semoga kelak menjadi anak yang tidak semenyebalkan ayahnya.

Sementara si calon psikolog Anggit yang hobi mancing emosi itu menulis pesan....

Untuk musuh bebuyutan ku sekaligus partner adu mulut setiaku, embak Mala. Bunga mawar putih ini aku kirimkan sebagai tanda perdamaian sementara. Terimakasih sudah memberiku calon keponakan baru. Dari lubuk hati yang terdalam, dengan setulus hati Anggit yang ganteng ini berdoa agar kelak menjadi anak yang tidak bar-bar seperti emaknya.

Huft ... sampai ngelus dada aku bacanya.

Dua bocah dewasa tanggung itu meski kini berubah perhatian tapi tetap saja menjengkelkan bukan. Bagaimanapun Yoga dan Anggit tetaplah si tukang jahil dan pembuat keributan. Terbukti bagaimana saat panggilan video tadi, mereka sampai ribut berdua perkara jenis kelamin sang calon keponakan. Heboh sekali, apalagi ditambah mama Lisa dan mama Kemuning yang tak mau kalah menebak. Telingaku sampai pengang mendengar kehebohan mereka.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang