9. Foto Gandeng

936 55 0
                                    

Pagi ini langit tampak cerah tak berawan. Biru bersih dengan sinar matahari yang menawan. Sungguh, akhir pekan yang aku idam-idamkan. Dalam benakku sudah berjajar rapi list aktifitas apa saja yang akan aku lakukan mulai dari pagi sampai nanti malam berganti.

Bayangan tentang bagaimana nikmatnya spa di salon sambil memejamkan mata, memanjakan seluruh tubuh mulai dari ujung kaki sampai kepala. Menyantap aneka makanan enak mulai dari yang manis sepertiku sampai yang pedas seperti mulut tetangga. Berkeliling mall, shoping baju, sepatu, tas, dan aksesoris lain yang berjajar rapi memanjakan mata. Lalu ditutup dengan nonton bola di stadion Gelora Bung Karno, laga antara Macan Kemayoran kontra Maung Bandung - El Classico nya Indonesia. Rencana yang sempurna.

Bahkan tiket pun sudah aku dapatkan dari semalam, takut kalau on the spot malah tidak kebagian. Tahu sendiri bukan, bagaimana loyalitasnya The Jakmania dan Bobotoh? Meski aku bukan salah satu dari keduanya, namun selama itu sepak bola aku tidak pernah tidak suka. Walaupun dengan sedikit memaksa Galih untuk bisa mendapatkannya. Tak apa, dia kan punya banyak channel orang dalam, tinggal menjentikkan jari maka tiket dapat dikantongi.

Ah! Aku sudah tidak sabar ikut berteriak, bersorak, bernyanyi bahkan berjoged di tribun. Pergi ke stadion yang seperti oase bagiku yang akhir-akhir ini terkena tekanan batin akut, dijepit dari berbagai sisi.

Yah, mau dikata apa lagi, demi Yangkung, aku menerima perjodohan gila ini. Meski rasanya tak ikhlas sama sekali, tapi sudah terlanjur menyanggupi. Begitu pula dengan Mas Lingga yang mengiyakannya, entah dalam hatinya bagaimana. Melihat rona bahagia Yangkung di usia senjanya, membuatku tidak mampu memberontak lagi. Pun demikian dengan kedua keluarga besar yang terlihat sangat bahagia, maka sudah tidak ada jalan untuk aku kembali.

Aku mematut diri di depan cermin, memakai skincare rutin ditambah sedikit pewarna bibir warna nude peach agar terlihat lebih alami dan segar. Tak perlu foundation, eyeshadow, dan tetek bengek lainnya seperti hari kerja. Hanya mengenakan kaos oblong oversize, celana jeans hitam, sneaker dan jaket denim. Tak lupa, rambut kuncir kuda agar tidak lari kemana-mana. Selesai, saatnya aku bersenang-senang.

Satu per satu anak tangga ku turuni sambil bersenandung ria. Akhir pekan yang akan sangat menyenangkan.

Selamat datang kehidupan normal ku. Kerja, kerja, kerja dan bersenang-senang dengan hasil dari memeras keringat sendiri.

"Lho! Kamu kok pakai baju seperti itu, nduk?" Mama seketika menghentikan kegiatannya menyentong nasi uduk untuk Papa. Beralih memandangiku dengan serius, meneliti mulai dari ujung kepala sampai batas kaki.

"Memang kenapa, Ma? Ada yang salah dengan baju Mala?" Aku berhenti di samping Anggit yang tampak tak acuh, dia tampak sangat menikmati menyarap nasi uduk dengan tempe orek, bihun goreng dan telur dadar buatan Mama yang sudah tersaji di meja. Favorit keluarga.

Mama mengitari meja makan, menghampiriku dengan cepat. Memicingkan alis tajam sambil memutar tubuhku searah jarum jam. Lantas mencubit bahuku gemas. "Au, sakit, Ma!" teriakku pura-pura kesakitan.

"Sebentar lagi Mas Lingga datang, sana ganti baju pakai kemeja, bukannya kaos oblong koyo ngene, lho, nduk...nduk...," ungkap Mama mengeluarkan logat jawanya. Tanda Mama mulai kesal.

Emangnya kenapa kalau dia datang? Tidak ada urusannya denganku. Eh, tapi tunggu dulu! Si polisi menyebalkan itu ada di Jakarta? Dan dia mau ke sini? Ish, bakal nyusahin, nih, pasti.

"Terus kenapa Mala yang harus ganti baju?" tanyaku bingung.

'Plak'

Mama memukul bokongku sambil mendelik sampai bola matanya nyaris keluar.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang