18. Prahara di Hari ke Lima (Bagian 2)

733 49 0
                                    

Pecahan kaca vas bunga kiriman mama mertua sudah berserakan di lantai ruang tamu rumah dinas Mas Lingga. Bercampur bercak darah kering yang menempel di lantai berkeramik putih ini. Darah yang keluar dari telapak kakiku yang tadi menginjak pecahan kaca itu.

Silahkan bilang aku habis atraksi debus atau kesurupan jaran kepang. Yang jelas aku hanya meluapkan emosi yang sudah tak tertampung lagi dalam diriku. Rasanya begitu sesak.

Bagaimana tidak. Papa dengan tanpa sepengetahuan dan seijin ku, seenaknya saja mengirim surat resign ke kantorku. Dan sudah disetujui pula oleh bosku meski kontrak kerjaku masih lama. Terang saja aku langsung ngamuk seketika.

Padahal rencana ku esok akan kembali ke Jakarta dengan dalih pekerjaan. Satu-satunya cara agar aku bisa menjauh dari Mas Lingga dan pernikahan ini, tapi  nyatanya semua hanya tinggal angan. Malang tak bisa ku tolak. Keluargaku benar-benar totalitas tanpa batas menjebak dan mengikatku dalam pernikahan ini.

Mereka menutup semua jalan agar aku tak bisa kabur kemana-mana lagi. Mengurungku agar selalu dalam cengkeraman Mas Lingga. Supaya melancarkan jalan mereka untuk segera menimang cucu dari rahimku. Tidak peduli meski harus mengorbankan kebebasan anaknya sendiri.

"Maaf, Nduk. Papa sudah mengajukan surat resign ke kantormu dan sudah disetujui. Jadi kamu bisa lebih fokus pada kehidupan rumah tanggamu di Jogja. Dampingilah Lingga karena sekarang dia adalah suamimu, imammu. Dukunglah dia karena pekerjaannya sangat berat. Dia butuh seseorang yang selalu ada disampingnya, menemaninya dan mendukungnya dalam segala hal. Dia butuh kamu sebagai istrinya. Jadilah istri yang baik yang selalu mengabdi pada suami. Maaf jika cara Papa salah, tapi ini semua demi kebaikanmu. Papa sama Mama sayang kamu." Kalimat Papa itu masih terdengar jelas di telingaku sampai sekarang.

Lalu apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa meratap. Duduk di lantai memeluk lutut sambil membenamkan wajah. Berjam-jam di posisi seperti ini tidak membuatku kebas dan kesemutan, atau mungkin aku hanya tidak merasakannya saja karena perasaanku yang begitu kacau. Bahkan luka di kakiku juga tak membuatku kesakitan karena ada bagian lain yang terasa lebih sakit yaitu hatiku.

Hari berlalu begitu cepat hingga aku tak sadar sudah berganti gelap. Begitu juga ruangan ini. Gelap, sepi dan berantakan. Entah sudah berapa jam aku seperti ini sampai aku tak mampu bangkit lagi. Tubuhku lemas tak berdaya harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Sudah tidak ada lagi yang tersisa. Sungguh betapa menyedihkannya hidupku.

"Ya Allah, Mala! Kamu kenapa?" teriak Mas Lingga setelah menyalakan lampu dan mendapati rumahnya kacau akibat ulahku. Aku bahkan tidak tahu kapan dia masuk rumah. Lelaki yang tadi bilang hanya bekerja setengah hari itu nyatanya sekarang baru pulang ketika matahari bahkan sudah tak kelihatan. Benar-benar tak bisa dipercaya.

Aku menegakkan kepala menatapnya kosong. Aku tidak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. Melihat Mas Lingga semakin membuat hatiku sakit. Hanya air mata yang mampu keluar tanpa kata-kata.

Mas Lingga kebingungan melihatku kacau, mungkin dimatanya sekarang aku tidak lebih baik dari orang gila pinggir jalan. Dia semakin panik begitu melihat bercak darah yang lumayan banyak di lantai. Dia buru-buru menyingkirkan pecahan kaca itu dan menghampiriku. "Mala, ada apa? Ini darah apa? Kamu terluka?" cerocosnya panik.

Lelaki yang masih mengenakan seragam PDH lengkap itu meneliti setiap jengkal tubuhku hingga berakhir di sumber yang dia cari. "Ya Allah, Mala! Kenapa bisa sampai seperti ini? Ayo bangun, kita ke rumah sakit!" ajaknya khawatir.

"Stop pura-pura peduli sama aku, Mas. Aku muak," kataku menepis kasar tangan Mas Lingga yang hendak menyentuhku.

Mas Lingga sedikit kaget dengan reaksiku tapi dia menghiraukannya. "Ayo ke rumah sakit!" ulangnya.

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang