13. Bukankah Kita Sudah Sah Menjadi Suami Istri?

1.1K 61 0
                                    

WARNING🚫!!! AREA 21+

MOHON KEBIJAKSANAANNYA TEMAN-TEMAN. PART INI KHUSUS UNTUK YANG SUDAH BERUSIA 21+, JADI BAGI YANG BELUM CUKUP BERUMUR TOLONG JANGAN DIBACA ATAU DI SKIP AJA. JANGAN NEKAT!!! ATAU RESIKO DITANGGUNG MASING-MASING. TERIMAKASIH ATAS PERHATIAN TEMAN-TEMAN SEMUA🙏🙏🙏

HAPPY READING EVERYONE.😀

—————————————————————

Menurut kalian hal apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Apakah bisa jalan-jalan mewah keliling dunia dengan pesawat pribadi? Apakah membeli barang-barang branded keluaran designer kenamaan dunia yang berharga ratusan hingga milyaran rupiah yang sering dipakai artis-artis luar negeri? Ataukah menikah dan hidup mewah layaknya putri kerajaan dengan suami ganteng, kaya raya, dan baik hati?

Bagiku itu semua nggak ada artinya dibanding kasur hotel yang terpampang nyata di depan mata. Bagiku inilah hal yang paling membahagiakan. Rasanya tidak ada yang bisa menandingi itu. Setelah hampir satu hari dipaksa berdiri dan bersandiwara sana-sini. Akhirnya kutemukan kasur yang melambai ingin dibelai.

Kulempar tubuh lelah yang masih lengkap mengenakan gaun, sanggul dan cunduk mentul ini ke kasur king size warna putih berhias bebek-bebekan dari handuk yang sedang ciuman dan ribuan kelopak mawar merah berbentuk love.

Rusak, rusak dah ni hiasan. Bodo amat, yang penting gue bisa rebahan dan selonjoran. Huh! sungguh nikmat mana lagi yang kau dusta kan, Mala! Memang obat terbaik rasa lelah dan letih adalah rebahan, tidak ada lainnya. Ini baru namanya surga dunia yang sesungguhnya. Apaan tuh, malam pertama? Nggak minat.

"Emm ...." Aku mengerang meregangkan semua otot-otot yang menegang ini, apalagi di bagian kaki yang terus dipaksa berdiri dengan sepatu hills tujuh senti berjam-jam lamanya demi estetika dan keindahan semata.

Astaga, badanku serasa hancur lebur. Semua tulang belulang ku seakan copot dari sendi-sendinya. Sepertinya sebentar lagi aku akan berubah jadi hewan melata. Kepalaku pening nyut-nyutan, seharian disanggul dan ditancepin cunduk mentul yang berat itu, yang kalau jalan ikut mentul-mentul. Coba aja ada yang mau mijitin aku, pasti sungguh nikmat rasanya.

Ah, ya! Jadi ingat omongan Mas Lingga tadi yang bilang mau mijitin aku di kamar. Hih! Mengerikan sekali, woy, jangan sampai itu terjadi. Seketika aku bergidik, bulu kudukku berdiri semua. Membayangkannya saja aku sudah ngeri sendiri, apalagi kalau sampai beneran terjadi, bisa keder setengah mati. Mama, tolong aku! Apa yang harus aku lakukan.

Mumpung Mas Lingga masih di Ballroom sana, berbincang hal yang iya-iya bersama rekan kerja dan teman-temannya kurasa. Emang apa lagi yang akan dibahas para lelaki di pernikahan temannya kalau bukan urusan kasur dan tempat tidur, ya, 'kan? Apalagi diumur mereka yang sudah dewasa matang ini. Mending aku mandi dan bergegas tidur sebelum dia sampai ke sini dan melancarkan aksi yang dibicarakannya tadi. Good idea.

Lebih dari sejam aku berusaha melepas semua yang menempel di kepala dan wajahku ini, tapi belum selesai juga. Paes hitam yang menempel lekat di jidatku ini susah sekali hilangnya. Satu wadah kapas hampir ludes karenanya. Untung aja si suami menyebalkan itu belum kesini juga. Kalau bisa nggak usah kesini sekalian aja deh, biar tidurku tenang sepanjang malam. Aku benar-benar sudah kehabisan tenaga, apalagi kalau sampai harus meladeni tingkah menyebalkan Mas Lingga lagi. Aku beneran nggak sanggup, Ya Allah.

Sejak akad tingkahnya selalu saja menyebalkan. Apalagi omongannya yang menggelikan di pelaminan itu, segala manggil aku 'Dek' lagi, yang katanya panggilan sayang itu. Siapa juga yang mau disayang-sayang sama dia, ogah gila!

Stay Here, Mas Lingga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang