Three | 11:11

21.6K 2.8K 100
                                    

Jarum panjang telah melewati angka 12 tapi yang ditunggu belum kunjung datang. Sekali lagi perempuan itu mengecek ponselnya yang tergeletak di atas meja, memastikan bahwa ada pesan masuk dari seseorang yang membuat janji temu dengannya siang ini.

Baru ia hendak membuka masker untuk menikmati caramel frappuccino-nya yang belum tersentuh, penantian lantas usai. Sosok berperawakan tinggi nan jelita bak model Victoria Secret, datang dan bergabung dengannya. Rambut cokelat gelap panjangnya dibiarkan terurai, menutupi punggung yang terbuka karena backless dress hitam yang membalut tubuh idealnya.

Body goals, they said. Semua orang yang belum mengenalnya pasti berpikir bahwa perempuan tersebut belum menikah atau bahkan masih lajang. Tidak akan menyangka bila faktanya, seorang Al Jannah Salim merupakan ibu beranak satu.

Setidaknya, begitulah pemikiran orang-orang sekitar yang ia amati dari ekspresi wajah mereka saat melihat Jannah.

"Hey, sori banget baru datang. Lo udah lama nunggu ya?" ucap Jannah saat ia telah duduk di depan June.

Lavandel June, penulis underrated yang akan diperkenalkan Jannah pada adik kembarannya, Bara. Seseorang yang sampai detik ini belum Jannah beritahu alasan dari pertemuan mereka sekarang.

June tersenyum simpul. "Nggak apa-apa. Lo mau pesan apa?"

Jannah mengibas tangan. "Apaan deh. Biar gue aja yang pesan. Kan, gue yang minta ketemuan," tolaknya, halus.

"Gue cuma nanya kok. Nggak berniat mesanin juga."

"Sialan lo," umpatnya, kecil. Enggan terdengar oleh orang lain. Karena jika iya, image wanita elegannya bisa jatuh!

June hanya terkekeh. Begitulah Jannah dan dirinya. Jika digabung, sudah seperti sahabat yang memegang prinsip "love and hate". Bicara apa adanya, kerap ceplas-ceplos, tapi saling menyayangi. Anehnya, cuma dengan Jannah, June bisa seperti ini. Sebaliknya pun begitu. Dengan orang lain, keduanya tidak bisa bicara sesantai ini. Entah mengapa.

Nyaman. Seperti itulah rasanya. Bagi June, Jannah sudah seperti kakak sendiri. Perbedaan usia yang terpaut 3 tahun, membuat Jannah kerap juga suka berlaku seperti saudara kandung ketika June sedang berada di sisinya.

Ah, nikmatnya bernostalgia.

Tuk!

June mengaduh kecil saat ujung stainless steel straw milik Jannah yang selalu perempuan itu bawa ke mana pun, mencium dahinya. "Ih, jorok. Itu, kan, buat lo pakai minum nanti. Dahi gue pasti udah terpapar virus tuh," gerutu June.

"Santai." Jannah lantas membuka hand bagnya dan mengeluarkan tissue anti bacterial yang selalu menemaninya bepergian. "Udah lengkap gue. Lo nggak perlu khawatir," ujarnya, lalu mulai mengelap semua benda-benda di atas meja. Termasuk wadah minuman yang ternyata sudah dipesan.

"Udah datang aja itu minuman," gumam June, tapi terdengar jelas oleh Jannah.

"Lo sih ngelamun. Gue berdiri tadi buat pesan dan ambil minuman aja, lo nggak sadar sampai gue getok dulu," balas Jannah, mendadak jadi penasaran sendiri. "Mikirin apa?"

"Nggak ada. Kangen aja. Udah jarang kita ketemu begini setelah pandemi."

Jannah manggut-manggut. "Iya juga. Tapi sebenarnya, pintu rumah gue selalu terbuka buat lo kalau mau mampir mah."

"Sebaiknya nggak. Ada Azka soalnya. Gue, kan, nggak bisa mastiin kebersihan gue juga. Kalau nanti di jalan ada virus nempel di baju gue gimana?" June tampak khawatir dengan anak Jannah yang sudah dianggapnya bagai keponakan sendiri.

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang