Six | 18:30

16K 2.6K 91
                                    

Laras sedang membantu mamanya mengiris daun bawang saat wanita itu membuka percakapan dengan sang anak, memecah keheningan yang tercipta di antara keduanya.

"Ras, gimana nulisnya?"

"Hmm?" Laras menoleh sejenak pada mama dan mengernyit. "Gimana apanya, Ma?"

"Udah mau ada buku yang terbit lagi?" tanya mamanya, penasaran.

"Doain aja ya, Ma. Ada apa emang nanya begitu?" Laras menjawab seadanya. Sama sekali tidak berniat menceritakan dirinya yang kini telah terikat kontrak dengan HS Publishers. Selain karena Laras memang tipikal orang yang "enggan membahas sebelum terjadi" karena takut batal atau dipersulit nanti, ia juga tidak ingin membawa-bawa HS Entertainment di hadapan sang mama.

"Nggak apa-apa. Mau tahu aja."

Merasa seperti ada yang ditutupi dari ekspresi wajah mamanya, Laras meletakkan pisau dari tangannya dan menaruh perhatian seutuhnya pada wanita yang melahirkannya tersebut. "Kenapa, Ma? Bilang aja."

Mama Laras meringis kecil. "Mama udah mulai WFH lagi nih minggu depan. Kayaknya bakal butuh laptop kamu kayak waktu awal-awal PSBB tahun lalu. Kamu keganggu nggak nanti? Kalau iya, Mama beli aja apa ya? Tapi katanya harus yang minimal iCore 5 dan RAM 4 gigabyte, Ras, biar aplikasinya kantor bisa jalan."

Laras mengembuskan napas. Sejujurnya, ia sangat keberatan. Mengingat caranya menulis tidaklah menentu. Jika ada ide, Laras langsung membuka laptop dan menuliskan apa yang ada di kepala sebelum semua itu menguap, terlupakan karena terlalu lama disalin. Dan Laras cukup menderita saat harus berbagi laptop dengan mamanya.

Dari pengalaman sebelumnya, Laras harus mengalah dengan menulis di ponsel saat ide mendadak datang sementara laptop tengah dipakai oleh mamanya saat work from home atau yang biasa dikenal masyarakat sekarang dengan WFH. Bukan tidak bisa, lebih tepatnya Laras tidak nyaman! Laptop baginya sudah seperti anak sendiri ketika ia tengah menjalani profesinya. Apalagi di ponsel mengetiknya pakai dua ibu jari saja, tidak bisa sepuluh jari. Hal tersebut tentunya membuat Laras gemas sendiri karena waktu yang dibutuhkan untuk mengetik jadi lebih lama, sehingga ide di kepala sudah keburu hangus!

Tapi untuk membeli laptop baru, lebih terasa memberatkan.

Mereka bukan keluarga yang kekurangan, tapi juga bukan keluarga yang terbilang sangat berkecukupan. Kalau ditanya, "adakah dananya untuk membeli laptop baru?" Laras akan menjawab, ada. Namun, di masa pandemi seperti ini, ia dan keluarganya harus hemat. Tiga kali lipat lebih hemat karena tidak ada yang tahu ke depannya seperti apa, sekalipun sekarang "baik-baik saja". Belum lagi fakta bahwa papanya sudah pensiun. Ditambah pekerjaan Laras yang tidak memiliki gaji tetap.

Menyadari dahi anaknya berkerut dalam tanda tengah berpikir keras, mama Laras pun berusaha menenangkan, "Udah, nggak perlu terlalu diambil pusing. Nanti Mama kredit aja ya?"

"Jangan, Ma. Jangan ngutang-ngutang lagi," tegur Laras, tidak digubris oleh sang mama.

"Ngambil laptop yang bisa dicicil dua tahun aja. Biar nggak kerasa."

Laras sontak melotot mendengarnya. "Mama mau beli laptop yang harganya berapa sih? Jangan mahal-mahal."

"Kan, disuruh kantor, Ras. Minimal yang kayak punya kamu katanya. Bagus prosesornya."

"Kata siapa?"

"Teman Mama, bagian IT dia."

Saat kantor mamanya menerapkan WFH pertama kali pada seluruh karyawan, Laras memang membiarkan laptopnya dibawa oleh sang mama untuk diinstall beberapa aplikasi kantor. Mama Laras bercerita saat itu jika laptop Laras ternyata dianggap pihak Teknologi Informasi kantornya sebagai laptop canggih. Laras yang mendengarnya hanya tertawa. Senang jika sang mama merasa dipermudah oleh sesuatu darinya. Setidaknya, Laras telah "membantu" secara tidak langsung.

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang