Five | 19:42

16.7K 2.9K 105
                                    

"Gimana? Laras setuju jadi script writer?"

Bara yang baru selesai mandi dan masih bertelanjang dada, lantas terkejut mendapati Jannah sudah duduk di sofa kamarnya. "Astaga! Ketuk pintu dulu kalau masuk!"

"Udah, tapi nggak ada jawaban." Jannah mengedikkan bahu.

"Gue lagi di kamar mandi." Bara mendengus. "Tadi lo nanya apa? Laras? Siapa?"

Kedua mata Jannah lantas membeliak, horor. "Seriously? Lo ketemu dia nggak tahu nama aslinya? Bukannya lo bawa kontrak kemarin?"

"Itu cuma contoh, kan, dia belum kirim data diri. Lagian, bukan gue yang buat kontraknya. Jadi nggak punya alasan buat tahu nama aslinya."

Jannah memutar matanya. "Ya tapi tetap aja, lo aneh. Terlepas dari dia belum kirim biodata, dia itu teman gue." Kemudian Jannah mengibas tangannya. "Udah, skip soal nama. Gimana tadi sore? Lancar?"

"Dia tetap maunya nulis novel kayak penulis lain. Sesuai yang lo jelasin ke dia di awal pertemuan."

"Lo nggak bilang jadi script writer lebih untung dari segi finansial?" Sebelah alis Jannah menukik. Pasalnya, Lavandel June bukan penulis besar. Keuntungan yang dimilikinya tidak pernah sampai 2 digit! Bahkan pernah ratusan ribu karena royalti beberapa buku yang pernah terbit sebelumnya hanya 10% untuknya. Pembayaran pun per-triwulan dan kerap diundur-undur. Dengan semua pengalaman suram tersebut, masa sih Laras tidak tertarik? "Atau jangan-jangan, lo nggak bilang ya soal penghasilan tambahan buat dia yang lo janjiin ke gue?" Jannah mengerling, curiga.

Bara mengembuskan napas. "Dia nggak peduli soal itu kayaknya. Dia kukuh mau tetap jadi penulis novel, berapa pun royalti yang didapat. Dia aja nggak buka kontraknya sama sekali."

Sekali Lavandel June, tetaplah Lavandel June. Mau tidak mau, Jannah jadi teringat bahwa ini adalah Laras. Seseorang yang masih penasaran bagaimana rasanya sukses karena "novelnya" bukan hal lain.

"Tapi tetap lo besarin persenan royalti dia nanti, kan?"

Sepasang alis Bara bertaut mendengarnya. "Lo kayaknya peduli banget sama si Laras itu."

"Gue cukup dekat sama dia walaupun sejak pandemi udah jarang ketemu," ujar Jannah yang membuat Bara semakin penasaran. Ya, sejak pandemi semua berubah. Tidak hanya perusahaan HS Entertainment yang terancam saat itu, tapi juga pejuang kecil seperti Laras. Di mana pendapatannya yang tidak seberapa semakin berkurang karena orang-orang mulai sibuk "menabung" untuk berjaga-jaga kelak. Bisa dibilang, mungkin hanya 2 dari 10 orang yang mau membeli novel dalam keadaan seperti ini. Mereka yang benar-benar butuh dan tidak bisa hidup tanpa bacaan. "Gue pengin bantu dia aja, walaupun secara nggak langsung."

Bara tersenyum simpul. "Bukan kewajiban kita buat bantu finansial dia. Itu tugas dia buat berpikir gimana caranya sukses kalau enggan keluar dari comfort zone."

"Ini bukan soal kesuksesan." Jannah berdecak seraya menyilang kedua lengan di atas perut. "Dia selalu bilang kalau dia udah sukses karena udah berhasil mencapai cita-cita dan hidup seperti apa yang diinginkan. Gue murni cuma pengin bantu aja."

"Persenan royalti semua penulis bakal tetap sama di kontrak. Nggak ada yang dispesialkan di sini," tegas Bara.

Jannah menatap Bara dengan kesal, tapi apa boleh buat? Laras juga sepertinya enggan menerima "bonus" tidak jelas. "Terserah deh. Tapi gue mohon sama lo, treat dia dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai perlakuan lo dan yang lainnya kayak penerbit buku-bukunya sebelum ini yang cuma mandang dia sebelah mata, hanya karena nggak terkenal."

"Dia pernah nerbitin buku?"

"Geez, Bara! Dia penulis!"

"Nggak. Bukan gitu. Gue pikir, dia cuma nulis di aplikasi kepenulisan aja. Ternyata udah pernah cetak ya," gumam Bara, terlebih bicara pada dirinya sendiri.

"Emang lo nggak nanya sama dia kemarin?"

Bara menggeleng. "Cuma nanya buku yang udah selesai dan mau diajuin ke HS aja. Dia nggak cerita apa-apa." Momennya bersama perempuan bernama asli Laras itu sore tadi lantas kembali terngiang di benak. Sudut bibir Bara berkedut, tidak dapat menahan tarikan untuk mengulas senyum. "Anyway, apa dia emang orangnya selalu sepercaya diri itu?"

"When it comes to her job, yes. Why do you ask?"

"It's kinda cool I think. Her vibe was..." Bara mengedikkan bahu. "Completely her own. And that's great."

Jannah dapat melihat kilat antusias di mata Bara saat berbicara tentang Laras dan passion perempuan itu, sekalipun ekspresinya sedemikian mungkin dikontrol. Dari yang Jannah tangkap, adik kembarnya tersebut telah menaruh kekaguman pada sosok penuh energi positif seperti sahabatnya.

Dan Jannah pun diam-diam menyunggingkan senyum kepuasan.

"Oh iya, Jan. Boleh keluar sebentar? Gue mau ganti baju."

Jannah langsung berdiri begitu menyadari tubuh Bara masih terbungkus oleh handuk yang terlilit di pinggulnya. Di bawah lelaki itu kini sudah tercipta genangan kecil karena air dari rambut basahnya yang belum sempat dikeringkan.

"Astaga, sori sori. Gue nggak sadar."

"Bisa-bisanya dari tadi ngobrol sama gue nggak nyadar," gumam Bara dengan tatapan sangat datar. "Ya udah, buruan kel—"

Pintu kamar Bara mendadak terbuka lebar dan kasar, membuat kedua makhluk yang berada di dalam sontak menoleh serentak ke ambang pintu. Di sana, berdiri sosok Meera dengan wajah pucatnya. Gadis itu tampak sangat panik.

"Aku sesak! Aku sesak!" pekik Meera, nyaris membuat handuk Bara copot saking terkejutnya.

"Hah?"

"Serius kamu?"

Meera manggut-manggut menjawab pertanyaan kedua kakaknya. "Gimana dong?!"

"Duh, tenang-tenang. Coba duduk di sini dulu, rileks. Kakak ambilin pulse oximeter-nya," titah Jannah, mencoba menuntun Meera ke ranjang king size Bara.

Bara yang melihat hal tersebut segera saja melarang. "Eh, eh. Jangan di sini. Mas mau pakai baju dulu!"

"Heh! Pakai di ruang ganti, kan, bisa! Adiknya lagi sesak begini juga!" gerutu Jannah, mengomeli Bara. Kemudian perhatiannya kembali pada Meera yang sudah terduduk di ranjang abangnya. "Sebentar ya," tambah perempuan itu sebelum akhirnya keluar sambil berlari kecil. Sementara Bara terburu-buru memakai pakaiannya di ruang ganti. Tidak lupa ia memakai masker, berjaga-jaga bila Meera benar terpapar virus.

Tidak perlu waktu lama bagi Bara selesai dan Jannah kembali. Kakaknya itu pun kini telah menggunakan masker dan membawakan satu untuk Meera.

"Mana sini jari telunjuknya. Bersih, kan?" tanya Jannah, memastikan.

"Bersihlah. Aku baru aja habis mandi," balas Meera dengan masker yang sudah menutup rapat hidung dan mulutnya.

Saat alat pengukur kadar oksigen tersebut sudah terpasang sempurna, ketiganya pun menunggu angka yang muncul stabil dengan perasaan cemas. Namun, kekhawatiran mereka tidak terbukti saat angka "98" menetap dan menandakan bahwa oksigen Meera masih baik-baik saja.

Bara mengernyit. "Itu nggak apa-apa kok. Serius kamu sesak? Sejak kapan?"

Meera mengangguk. "Barusan. Habis ganti baju, terus ngerasa sesak."

Sebelah mata Jannah menyipit curiga. "Ganti baju? Apa hubungan—" Seolah mengetahui sesuatu yang janggal, Jannah bergegas menyusupkan tangannya ke belakang baju Meera dan membuka pengait bra adiknya. "Masih sesak nggak?"

"Eh???" Meera mengerjap-ngerjap. "Kok udah lega ya?"

Bara tersenyum masam melihatnya. "Udah Mas duga."

"Sorry my Bro and Sis." Meera meringis, geli pada dirinya sendiri. "Panik tadi, jadi pas sesak kirain covid. Nggak tahunya cuma karena my bra is so ketat!"

Jannah hanya bisa menghela napas, lelah karena tingkah Meera yang ajaib.

*

Author's Note:
Bacalah selagi "On Going" di Wattpad. Cerita ini sudah TAMAT dan lengkap di KaryaKarsa (@ Junieloo).
Untuk informasi selengkapnya, baca bab "Info Penting" sebelum PROLOGUE, ya.

Thank uLove uSee u

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang