Twenty Nine | 15:27

9.1K 2K 228
                                    

Mobil Bara membelah jalan dengan kecepatan lumayan tinggi. Ia harus bergegas menemui Jannah sekarang juga untuk meminta jawaban. Terlalu banyak pertanyaan di benak yang membuat kepalanya nyaris pecah.

Benarkah apa yang Hamish katakan? Benarkah jika Azka bukan anak dari laki-laki itu? Lantas, mengapa Jannah berbohong padanya?

Atau pada semua orang?

Di tempat lain, Jannah tengah menemani Azka menyusun puzzle saat ponselnya berdering. Segera perempuan itu menjauh—usai terlebih dulu meminta salah satu bibi untuk mengawasi anaknya—tatkala menyadari jika kaki tangannyalah yang menelepon.

"Halo?"

"Hari ini Pak Bara menemui orang itu. Beliau sendiri yang meminta pada saya. Dan sesuai kesepakatan di awal, atasan saya tetap Pak Bara. Jika beliau yang saya hadapi langsung, saya berpihak padanya."

Jannah mengembuskan napas. "It's okay. Tugas kamu buat saya udah selesai. Nanti malam saya transfer bayarannya, atau kamu bisa temui saya besok di butik."

"Bu Jannah yakin? Saya bisa bantu cari orang lain untuk Bu Jannah kalau—"

"Nggak perlu." Jannah mengangguk meskipun seseorang di seberang tidak dapat melihat gerakannya. "Udah waktunya selesai. Terima kasih," ucapnya bersungguh-sungguh pada sekertaris Bara.

"Sama-sama, Bu Jannah. Baik kalau begitu. Selamat sore."

Ponsel di tangannya perlahan menjauh dari telinga. Selama ini dirinya memang bekerja sama dengan sekertaris Bara yang ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik lelaki itu saat mulai mencari tahu tentang Hamish. Ia tahu, Bara adalah orang yang tidak pernah mau menumpahkan masalah pribadi pada sekertarisnya sehingga Jannah bisa memanfaatkan kesempatan tersebut.

Sampai Bara—mungkin—sudah lelah karena usahanya dalam mencari Hamish tidak membuahkan hasil sehingga mau tidak mau melibatkan sekertarisnya.

Jannah memang mengatakan pada sekertaris Bara bahwa dirinya hanya meminta bantuan. Bukan berarti menyuruhnya berkhianat. Karena setelah semua ini usai, tidak akan ada penyesalan.

Termasuk Bara sendiri.

Baru saja dipikirkan, sosok itu pun muncul dan menghampirinya. Langsung saja Jannah mengulas senyum seolah tidak ada apa pun yang terjadi. "Tumben pulangnya cepat banget," sapa Jannah, basa-basi. Adik kembarnya tersebut memang baru berpamitan pada orang rumah—yang berpapasan saat hendak berangkat—kurang dari tiga jam yang lalu.

"We need to talk, Jannah." Bara menampilkan raut serius di wajahnya yang kini terbebas dari masker.

Here we go! Jannah diam-diam memantapkan diri. Walaupun sudah waktunya berakhir, perempuan itu tetap tidak siap melihat respons Bara nantinya.

"Barusan gue temuin Hamish ..."

Rahang Jannah terkatup rapat. Setiap mendengar nama itu, dadanya selalu berdebar kencang. Entah, tapi masih dan selalu ada sosok tersebut dalam ruang hatinya. Padahal Jannah sudah sangat membencinya.

Menyadari bahu sang kakak menegang, Bara jadi ragu untuk melanjutkan. "Are you okay?" tanyanya, khawatir.

Dengan kedua mata tertutup, Jannah mengangguk cepat. "It's alright. Go on."

"Gue tahu apa yang terjadi di antara kalian." Bara meneguk ludah. "Apa karena Azka?" tanyanya, hati-hati. Takut menyakiti hati Jannah sekaligus Azka meskipun bocah itu sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Bara. Masih asyik dengan puzzlenya yang semakin membuat pusing!

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang